Bagelen, Tapak Kolonis Pertama Indonesia*

Bookmark and Share


Sebagai sebuah program yang dilaksanakan pemerintah Indonesia untuk meratakan penyebaran penduduk, transmigrasi ternyata memiliki sejarah panjang. Pemindahan penduduk dari wilayah padat ke daerah ’sepi’ tersebut untuk pertama kalinya terlaksana pada November 1905. Pemerintah Hindia Belanda yang masih menjajah Indonesia saat itu menamainya sebagai kolonisasi.


Kesempatan untuk mengikuti kolonisasi perdana diberikan kepada 155 kepala keluarga (KK) yang berasal dari Bagelen. Bagelen merupakan sebuah wilayah yang berada di dalam Karesidenan Kedu (sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah). Adapun, lokasi yang menjadi tujuan kolonisasi adalah Karesidenan Lampung.



Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lampung (Unila) Wakidi menuturkan, Pemerintah Hindia Belanda memilih memindahkan penduduk dari Karesidenan Kedu karena wilayah tersebut merupakan daerah dengan penduduk terpadat.



Sampai awal abad ke-20, Pulau Jawa yang terbagi menjadi 21 karesidenan memiliki kepadatan penduduk rata-rata 231 jiwa per kilometerpersegi. Sementara itu, rata-rata kepadatan penduduk Kedu telah mencapai 425 jiwa per kilometerpersegi.



“Dengan dasar tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan pemindahan penduduk di dalam Karesidenan Kedu pada November 1905,” kata Wakidi saat ditemui di rumahnya, Sabtu (10/3).



Mengenai tanggal pasti pemberangkatan pertama kolonisasi, Wakidi mengaku, hal itu belum bisa diketahui secara pasti. Pasalnya, dokumen resmi Pemerintah Hindia Belanda maupun pemberitaan media massa yang terbit masa itu hanya menyebutkan nama bulan saja.



“Hari apa dan tanggal berapa, itu yang masih menjadi tanda tanya. Beberapa buletin Belanda cuma menyebutkan bulannya saja,” terang Wakidi yang pernah menyusun tesis terkait kolonisasi melalui studi literatur tersebut.



Kolonisasi awal dipimpin langsung Asisten Residen Banyumas HG Heyting yang merupakan pejabat Pemerintahan Hindia Belanda sejak dari Kedu sampai Lampung. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lampung, 155 KK yang mengikuti kolonisasi terdiri dari 815 jiwa.



Perjalanan menuju Lampung, tutur Wakidi, bukanlah hal yang mudah. Waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Sebab, sarana maupun teknologi transportasi ketika itu masih terbatas.



Rombongan kolonis memulai perjalanan dengan menumpang kereta api menuju Batavia (sekarang Jakarta). Mereka kemudian menempuh jalur laut dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Telukbetung menggunakan kapal uap. Wakidi mengatakan, rombongan kolonis menaiki kapal barang yang memang menjadi rata-rata transportasi masa itu.



“Mereka tiba di Pelabuhan Telukbetung. Lokasi sekarang di Gudang Lelang, Sukaraja. Mereka diturunkan di sana karena itu memang pelabuhan di Lampung. Pelabuhan Panjang yang ada sekarang baru dibuka tahun 1912,” jelas Wakidi.



Untuk durasi waktu yang dibutuhkan ketika menggunakan kereta api maupun kapal laut, Wakidi menuturkan, dokumen Pemerintah Hindia Belanda tidak menyebutkan hal tersebut.



Setelah sampai di Lampung, rombongan kolonis kemudian menetap selama tiga hari di bedeng yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Selama tinggal di bedeng, mereka diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian yang akan dilaksanakan di wilayah kolonisasi. Hal itu karena tidak semua penduduk yang mengikuti kolonisasi memiliki mata pencarian sebelumnya sebagai petani.



Pemerintah Hindia Belanda menetapkan lokasi kolonisasi pertama di Lampung adalah daerah Gedong Tataan. Wakidi menuturkan, dirinya belum menemukan dokumen tertulis yang menjelaskan mengenai perjalanan dari bedeng di sekitar pelabuhan menuju Gedong Tataan.



Wakidi memperkirakan, rombongan kolonis menggunakan mobil milik Karesidenan Lampung untuk menempuh perjalanan tersebut. Perkiraan penggunaan mobil milik karesidenan karena transportasi yang melayani jalur tersebut tidak ada. Selain itu, infrastruktur jalan yang ditempuh pun masih sulit.



“Menggunakan mobil (milik karesidenan) paling jeep. Tetapi, ada yang mengatakan mereka berjalan kaki. Saya belum menemukan arsip bagaimana mereka melakukan perjalanan (dari bedeng ke Gedong Tataan). Perkiraan saya tersebut, berdasarkan bayangan transportasi waktu dulu, itu masuk akal,” papar Wakidi.



Cerita perjalanan dengan berjalan kaki dari bedeng di sekitar Pelabuhan Telukbetung menuju Gedong Tataan disampaikan generasi ketiga kolonis Bagelen, Mariyanto. Hal itu merupakan pengalaman neneknya, Ahmad Dumar, yang mengikuti kolonisasi dari Bagelen, Kedu tahun 1927.



Meskipun bukan termasuk dalam rombongan pelopor kolonisasi, Mariyanto mengatakan, neneknya masih berjalan kaki selama dua hari tiga malam untuk bisa sampai di Gedong Tataan pada 1927. Jalan yang dilalui pun berupa jalan setapak.



“Dia sambil membawa anak yang masih berusia tiga bulan. Anak itu merupakan bapak saya,” kata Mariyanto.



Menempati wilayah kolonisasi yang sama sekali baru, Wakidi menuturkan, rombongan kolonis sebenarnya telah memiliki persepsi tersendiri mengenai Lampung. Hal itu tak lepas dari pemberitaan media massa yang mereka dapatkan.



“Dulu (sebelum berangkat), mereka takut dimakan gajah dan harimau. Dua binatang itu terkenal karena pemberitaan buletin-buletin Belanda. Kalau datang ke Lampung, bisa dimakan gajah sama harimau,” urai Wakidi.



Sebagai upaya membuat nyaman suasana, para kolonis kemudian mengusulkan agar nama tempat tinggal mereka dinamakan sama dengan nama wilayah yang sebelumnya mereka tinggali di Jawa.



Pemerintah Hindia Belanda pun menyetujui usul tersebut. Wakidi mengatakan, keputusan penamaan tersebut untuk memberikan kesan seolah-olah kolonis merasa tinggal di wilayah awal mereka. Pemerintah berharap para kolonis dapat betah tinggal di wilayah kolonisasi.



Ketua Umum Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) Muhajir Utomo menambahkan, selain upaya agar merasa di rumah sendiri, pembuatan nama desa Bagelen di Lampung memiliki tujuan sebagai identitas para kolonis.



“Itu untuk menunjukkan bahwa mereka dari Bagelen. Supaya saudara mereka, kalau ada yang datang (ke Lampung), bisa tahu kalau kampung mereka di Bagelen,” tutur Muhajir.



Meskipun jumlah KK yang mengikuti kolonisasi pertama tercatat sebanyak 155 KK, Mariyanto menuturkan, jumlah penduduk yang tiba pada 1905 hanya sebanyak 43 jiwa, terdiri dari 40 laki-laki dan 3 perempuan. Data tersebut didapatkan setelah Mariyanto melakukan napak tilas di Bagelen.



“Ketua rakyatnya, kalau saat ini kepala desa, waktu itu adalah Karto Rejo. Baru pada lima tahun berikutnya mulai bertambah,” ungkap Mariyanto.



Jumlah KK yang melakukan kolonisasi perdana, menurut Wakidi, tercatat dalam dokumen resmi Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun begitu, Wakidi mengakui, dokumen tersebut terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.



Angka 155 KK, lanjut Wakidi, adalah perkiraan kuota yang ditetapkan pemerintah. Jumlah tersebut bisa bertambah maupun berkurang dengan batasan yang tidak terlampau jauh dari angka kuota.



“Kisarannya 155 KK. Bisa nambah sedikit, bisa kurang sedikit. Berapa persisnya yang dikirim sampai ke Lampung, itu tidak diketahui. Hanya perkiraannya saja 155 KK,” kata Wakidi.



Temuan Mariyanto mengenai jumlah penduduk yang tiba di Bagelen pada kolonisasi pertama hanya sebanyak 43 orang, tutur Wakidi, hal itu dapat terjadi. Sebab, dokumen resmi pemerintah tidak memberikan rincian secara detail.



“Kemungkinan waktu perjalanan ada yang meninggal atau sakit sehingga dikembalikan, itu bisa saja terjadi,” terang Wakidi.



Selama proses kolonisasi yang untuk pertama kalinya berlangsung, Wakidi mengungkapkan, Pemerintah Hindia Belanda tidak lepas tangan. Mereka bahkan turun langsung untuk memastikan proses berjalan baik. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Asisten Residen Banyumas HG Heyting yang memimpin rombongan di tengah-tengah penduduk Bagelen.



Bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan Pemerintah Hindia Belanda karena kolonisasi merupakan program terencana. Wakidi menuturkan, perpindahan penduduk dari wilayah padat, khususnya Jawa, ke wilayah lain yang relatif lebih lapang di luar Jawa telah menjadi wacana sejak lama. Wacana itu muncul jauh sebelum kolonisasi akhirnya direalisasikan.



Pemikiran untuk memindahkan penduduk Jawa pertama kali diungkapkan Thomas Stamford Raffles pada 1814. Raffles, yang tengah menjadi penguasa di Indonesia ketika Inggris menjajah, mencatat jumlah penduduk Jawa pada tahun tersebut sebanyak 4,6 juta jiwa. Jumlah itu diperkirakan akan berlipat ganda dalam tiga sampai empat dasawarsa.



Kecemasan penambahan penduduk Jawa berlipat ganda pada masa mendatang juga disampaikan Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies saat menjadi penguasa Hindia Belanda pada 1827.



Pernyataan Raffles dan Gisignies bukan tanpa perhitungan. Keduanya memperkirakan, sistem liberal yang diterapkan pada masa itu memberikan kesempatan masyarakat pribumi sedikit peningkatan kesejahteraan. Penduduk Jawa pun telah mendapatkan pangan yang lebih baik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Dugaan tersebut terbukti, pada pertengahan abad ke-19, penduduk Jawa telah berjumlah sekitar 8,9 juta jiwa.



Meskipun jumlah penduduk Jawa meningkat, perkiraan Raffles dan Gisignies ternyata tidak sepenuhnya benar. Sistem liberal, yang memberikan kesempatan lebih luas kepada swasta, diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, nyatanya tidak terealisasi.



Hal tersebut diperparah ketika penerus Gisignies, Johannes van den Bosch, menerapkan sistem tanam paksa. Wakidi menerangkan, sistem tanam paksa telah menghisap habis tenaga tanpa memberikan kesejahteraan kepada penduduk Jawa.



“Tetapi, jumlah penduduk Jawa ternyata tetap semakin meningkat. Secara logika, ini tidak bisa dipikir. Kesejahteraan menurun, tetapi penduduk malah bertambah,” ucap Wakidi.



Terjadinya peningkatan penduduk ternyata untuk menutupi beban kerja yang banyak maupun besaran pajak yang tinggi. Wakidi mengatakan, kepala keluarga merasa tidak sanggup apabila harus menghadapi seluruh beban tersebut seorang diri.



“Makanya, mereka banyak melahirkan anak. Harapannya, beban kepala keluarga dapat ditanggung bersama,” kata peraih gelar magister humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1997 tersebut.



Sekitar tahun 1980-an, banyak industri tekstil di Belanda mengalami kebangkrutan. Hal itu terjadi karena produk tekstil yang mereka hasilkan tidak laku dijual ketika dipasarkan di Indonesia, terutama di Jawa. Penyebabnya, penduduk Jawa tidak mampu membeli tekstil tersebut akibat penghasilan mereka yang minim. Upah buruh yang dibayarkan pengusaha perkebunan swasta yang bermunculan di Indonesia tergolong murah.



Menurunnya kesejahteraan hidup penduduk Jawa pada masa penjajahan, ungkap Wakidi, disebabkan tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk yang pesat tidak terimbangi kenaikan produksi pangan, sistem tanam paksa dan kerja wajib yang hasilnya tidak dinikmati penduduk, serta tanggung jawab Jawa yang telah menjadi penopang finansial kepentingan politik Pemerintah Hindia Belanda di luar Jawa maupun untuk peningkatan kemakmuran negeri induk selama abad ke-19.



Akibat kondisi yang terjadi pada penduduk Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan kritik tajam dari bangsa mereka sendiri. Kritik disampaikan para tokoh humanis, antara lain Conrad Theodore van Deventer, van Koll, dan Pieter Brooshoff yang mengelola surat kabar de Lokomotief di Semarang.



“Van Deventer dan van Koll melakukan kritik di parlemen Belanda. Sementara, Brooshoff selalu mengulas melalui tulisan kritik-kritik yang disampaikan keduanya di parlemen Belanda,” tutur Wakidi.



Kritik yang disampaikan merupakan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan politik balas budi terhadap penduduk pribumi. Hal itu karena penduduk pribumi telah berperan besar memberikan keuntungan terhadap Belanda dari tanah jajahan di Hindia Belanda.



Akibat desakan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menjalankan politik etis untuk menangani perbaikan kesejahteraan penduduk Jawa. Wakidi menerangkan, politik etis dilakukan melalui irigasi, edukasi, serta migrasi.



Perencanaan pelaksanaan ketiga hal itu mulai dipersiapkan setelah politik etis dicanangkan pada 1902. Wakidi mengungkapkan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian mendalam sebelum merealisasikan rencana.



“Sebelum melaksanakan migrasi atau kemudian dinamakan kolonisasi, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian. Mereka melaksanakan survei di beberapa lokasi yang akan menjadi tujuan kolonisasi nantinya,” ungkap Wakidi.



Seiring pelaksanaan survei, Pemerintah Hindia Belanda pun melakukan uji coba kolonisasi. Uji coba dilaksanakan antarwilayah di Jawa, yaitu dari Kedu ke Banyuwangi. Hal itu ternyata gagal. Karena, pemerintah tidak melakukan perencanaan yang matang. Penduduk yang dipindahkan lalu dikembalikan ke lokasi awal.



Sementara, survei kolonisasi dilaksanakan di Pahiyang, Bengkulu; Sawah Lunto, Sumatera Barat; Madusari, Kalimantan Selatan; Gedong Tataan, Lampung; serta beberapa wilayah di Sulawesi Tengah.



Pemerintah Hindia Belanda, kata Wakidi, melakukan penelitian di lokasi-lokasi tersebut untuk terutama menilai kelayakan permukiman dan pertanian. Hasilnya, Gedong Tataan di Lampung dipilih menjadi lokasi kolonisasi pertama.



“Dari sekian wilayah yang disurvei, Lampung memiliki kepadatan penduduk terendah sebesar 5 jiwa per kilometerpersegi. Kepadatan penduduk di lokasi lain rata-rata 10 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk menjadi prioritas utama,” urai Wakidi.



Menurut Muhajir, Pemerintah Hindia Belanda menganggap kolonisasi merupakan program besar. Supaya program tersebut berhasil, pemerintah pun melakukan penelitian secara serius.



Penelitian mula-mula mengkaji kelayakan tanah. Tanah di lokasi tujuan kolonisasi harus datar dan subur. Selain itu, sumber air pun harus banyak tersedia. Kajian tersebut bertujuan agar pertanian yang akan dilakukan bisa berhasil.



“Lampung dipilih karena semua hal itu tersedia. Tanah di Gedong Tataan memenuhi syarat. Sumber air pun banyak. Sampai sekarang sumber air di sana pun masih bagus,” kata Muhajir.



Hal lain yang menjadi penelitian adalah aspek sosial budaya masyarakat. Muhajir menerangkan, budaya masyarakat lokal Lampung dinilai memiliki penerimaan yang baik terhadap masyarakat pendatang. Hal itu untuk menghindari terjadinya konflik pada kemudian hari antara masyarakat pendatang dan lokal.



Aspek sosial budaya masyarakat yang akan didatangkan pun menjadi penilaian. Muhajir menuturkan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan seleksi dengan menetapkan kriteria calon kolonis. Kriteria itu, antara lain mau bekerja keras, siap menderita, berani, serta dapat beradaptasi, bukan hanya kepada lingkungan ekologi tetapi juga masyarakat.



“Mengapa dipilih penduduk dari Kedu, karena pemerintah telah melakukan studi di sana. Jadi, kolonisasi dilakukan dilandasi dengan kajian-kajian yang akademis,” ungkap Muhajir.



Dalam melaksanakan perekrutan, Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan etnis Tionghoa sebagai petugas lapangan yang mencari calon kolonis. Wakidi menuturkan, para pencari calon kolonis tersebut dikenal sebagai laokeh. Mereka bekerjasama dengan aparat keamanan yang melakukan pencatatan calon kolonis yang memenuhi kriteria.



Pemerintah Hindia Belanda pun menerbitkan buku propaganda kolonisasi. Buku-buku propaganda mengajak penduduk Jawa untuk mengikuti kolonisasi. Penduduk Jawa diberikan penjelasan mengenai keuntungan mengikuti kolonisasi.



Buku propaganda juga bertujuan untuk menangkis pemberitaan media massa saat itu yang dianggap telah membentuk ketakutan masyarakat mengenai lokasi kolonisasi. Persepsi masyarakat terbentuk karena media massa memberikan keterangan Lampung yang masih banyak gajah dan harimau. Kedua binatang tersebut dianggap sewaktu-waktu dapat memakan manusia yang tinggal di Lampung.



Keberadaan laokeh dan buku propaganda, sambung Wakidi, supaya target kuota kolonisasi terpenuhi. Sebab pada masa itu, sistem liberalisasi yang diterapkan telah memunculkan banyak perusahaan perkebunan swasta. Kebutuhan tenaga kerja telah menimbulkan migrasi penduduk dari Jawa ke lokasi perkebunan.



“Jadi, pemerintah dan swasta sebenarnya bersaing. Makanya, ada laokeh dan pemerintah membuat buku propaganda. Dulu yang paling banyak migrasi tenaga kerja, ke perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara,” papar Wakidi.



Sembari melakukan perekrutan, Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan lahan untuk kolonisasi di Gedong Tataan, Lampung. Proses persiapan lahan diawali dengan permintaan izin kepada pemangku adat Lampung di Padang Ratu Kedondong untuk menggunakan lahan di Gedong Tataan. Hal itu dilakukan karena masyarakat lokal lekat dengan tanah ulayat atau adat. Sementara, luasan tanah ulayat tidak pernah memiliki ukuran yang jelas.


“Untuk menghindari perselisihan lahan ke depannya, makanya pemerintah meminta izin terlebih dahulu ke pemangku adat,” terang Wakidi.


Setelah mendapat izin, pemerintah kemudian membuat batas lahan untuk kolonisasi. Hal itu dilakukan dengan membuat pagar di sekeliling lahan. Pemerintah pun mulai melakukan pembukaan lahan yang ketika itu masih berupa hutan.



Dengan kondisi sumber daya alam (SDA) yang ada, pola kolonisasi yang akan diterapkan berupa padi sawah serta palawija. Pemerintah pun membangun infrastruktur rumah sebagai tempat tinggal kolonis nantinya. Satu rumah diperuntukkan bagi dua sampai tiga keluarga. Adapun, lahan garapan berada di seputar rumah tersebut.



Meskipun demikian, pembukaan lahan yang dilakukan pemerintah tidak secara utuh. Wakidi menuturkan, beberapa bagian lahan masih berupa hutan. Sehingga, kolonis masih tetap membuka lahan ketika sampai di Gedong Tataan.


“Wilayahnya (kolonisasi) sudah dibatasi, tetapi lahannya belum diratakan semua. Masih ada yang berupa hutan. Jadi sebelum menggunakan lahan, kolonis masih melakukan pembukaan lahan,” terang Wakidi.

Telah diterbitkan di Tribun Lampung pada 21-23 Maret 2012

Ridwan Hardiansyah