Berjumpa dengan Korban Nazi di Jakarta

Bookmark and Share


13400704681459679784

Max Stern dan Saya


LELAKI TUA BERKULIT PUTIH ITU DUDUK BERGEMING DI BANGKUNYA. Sesekali melempar obrolan dengan gadis muda berparas Mongolia yang sedang sibuk menata perangko. Lelaki itu juga tampak murah senyum ketika ada orang menyambangi stand perangkonya.

Lelaki dengan uban di kepala dan keriput di wajahnya itu menjadi sosok yang paling mencuri perhatian saya di seantero Hall A, Jakarta Convention Center yang hari itu jadi tempat Festival Filateli Dunia.


Saya mendekat. Saya semakin terpikat ketika buku dengan sampul dirinya terpajang di dalam etalase tempat ia memajang perangkonya. Saya memastikan foto di sampul buku itu adalah lelaki tua itu. Malum, foto di sampul buku itu kelihatan jauh lebih muda.


Saya bertanya pada gadis berparas Mongolia tersebut. Ia mengangguk membenarkan. Lalu, saya menyapa lelaki tua itu meminta waktunya untuk sepotong obrolan. Obrolan selama 26 menit itu diawali dengan saling bertukar kartu nama.


Namanya Max Stern. Di kartu namanya tertulis nama perusahaan, Max Stern & Co—diler perangko dan koin. Alamatnya di Port Philip Arcade, Melbourne. Max Stern & Co menjadi salah satu peserta Festival Filateli Dunia di Jakarta Convention Center, 18-24 Juni 2012.




“Apa arti perangko-perangko ini bagi Anda?” tanya saya membuka obrolan.



“Semua sudah saya kisahkan dengan detail, termasuk sejarah hidup saya, dalam buku yang diterbitkan pada 1999 berjudul My Stamp on Life. Itu kisah saya dari usia belasan sampai dewasa,” kata Max yang siang itu memaki baju kerah putih berdasi dibalut baju sweater.


Max juga menyebut buku kedua The Max Factor, My Life as a Stamp Dealer—buku yang dipajang di etalase tadi— yang isinya pengalaman dia berjualan perangko. Buku kedua ini, sambung Max, sudah diterjemahkan dalam empat bahasa, yakni China, Jepang, Jerman, dan Slovakia. “Jika Anda sungguh-sungguh ingin mengetahui kisah hidup saya, saya akan bahagia sekali bila saya juga akan mendatangani buku itu untuk Anda,” kata Max.



Max dilahirkan pada 1921 dari sebuah keluarga Yahudi Ortodoks di Bratislava, Czechoslovakia. Dia mengaku sudah menggandrungi perangko sejak umur 14 tahun. Ia menjadi turut menjadi penyangga ekonomi keluarga saat itu. “Saya saat tidak mungkin bisa sekolah kalau tidak jualan perangko. Mau tidak mau karena, pendudukan Jerman membuat hidup saat itu berat. Dan, sampai sekarang saya masih jualan perangko dan saya menikmatinya,” kata Max.



Dari tahun-tahun yang ia sebut, tampak bagaimana Max memiliki pengalaman asam garam yang kental dari masa ke masa. Usia Max sekarang 91 tahun. Tampak bagaimana masa pendudukan tentara Jerman pada kampung halamannya menjadi salah satu kisah getir miliknya. Persis seperti disaripatikan dari bukunya My Stamp on Life – berdasar sebuah resensi singkat di Internet—bahwa bahwa Max pernah mengalami kekejaman tentara Nazi. Tapi, tanpa kisah buku itu, mungkin orang bisa menebak bahwa lelaki ini menyimpan sejarah panjang soal perjuangan hidup di balik sorot matanya.




Buku tersebut menuturkan pengalaman masa kecil Max di masa pra pendudukan tentara Jerman di Bratislava (Slovaskia), pengalaman selamat dari Holokaus Nazi Jerman, dan pengalaman membangun karir dan masa depannya dengan berjualan perangko di tanah rantau.


Hidupnya tampak tidak pernah nyaman. Max dan keluarganya bak main petak umpet dengan tentara Jerman. Usai berhasil lolos dari deportasi orang Slovakia keturunan Yahudi pada Oktober 1944, Max bersama beberapa orang bersembunyi di loteng sebuah gedung teater.


Sayang sekali, Max ditemukan pada awal tahun 1945. Ia kemudian diciduk dan dikirim ke kamp konsentrasi Sachsenhausen—sebuah kamp dekat kota Berlin. Di Sachsenhausen, Max dipaksa kerja untuk membersihkan reruntuhan akibat pemboman dan membangun barikade antitank.


Setelah Jerman bertekuk lutut pada tentara sekutu pada tahun yang sama, Max selamat dari barisan kematian dari Berlin menuju Hamburg. Max berupaya membangun kembali usahanya sebagai penjual perangko di Bratislava. Tapi, tiga tahun kemudian, Komunis mengambil alih pemerintahan Czechoslovakia. Dalam tekanan Komunis, Max tak mungkin menjalankan bisnis perangkonya lagi.


“Setelah pembebasan invasi Jerman, saya membuka kembali toko perangko. Tapi, komunis membuat saya harus pergi ke Australia pada tahun 1948,” kata Max.


Max pergi bersama Eva, istri yang ia nikahi pada 1948. Di Melbourne pada 1950, Max membuka sebuah diler perangko. Sebuah gerai perangko kecil dibuka. Lokasi tokonya dekat dengan tokonya sekarang— di Port Philip Arcade. Perusahaannya, Max Stern & Co, merupakan perusahaan ritel perangko terbesar di Australia.


Pada Februari 1950, Max masuk di perkumpulan penjual perangko ASDA—Australian Stamp Dealers Association. Enam bulan bergabung dalam perkumpulan ini, Max ditunjuk sebagai sekretaris. Empat tahun kemudian ia diangkat sebagai Presiden ASDA lalu berturut-turut pada 1955 dan 1956 serta menjadi anggota komite lebih dari 40 tahun. Sekarang, ia menjadi Honorary Life Member.


Dari pengalaman selama puluhan tahun bergelut dengan perangko, Max mengaku mendapatkan banyak sekali pelajaran. “Saya belajar tentang kisah kehidupan. Dengan perangko, saya juga berjumpa dengan banyak orang dari berbagai dunia. Saya membuat jejalin pertemanan dengan banyak orang. Saya menyukai sejarahnya yang mana setiap perangko memiliki sejarahnya sendiri. Saya seorang filateli dan penjual perangko selamanya. Saya bisa pergi ke berbagai negara,” kata Max.


Tantangan terbesar, sambung Max, adalah ketika mempelajari sejarah perangko di beberapa negara yang memang tak gampang. Ia menyebut nama Afganistan. “Afganistan memiliki sejarah sangat unik dalam perperangkoan. Juga Mongolia, China, dan Jepang. Saya membeli perangko dari pemerintah-pemerintah itu,” katanya.



Max Stern & Co kini memiliki agen perangko di berbagai negara, seperti Austria, Canada, China, Fiji, Inggris, Hong Kong, Irlandia, Malaysia, Marshal Island, Papua New Guinea, Singapura, Swedia, Swis, Tokelau, Tonga, Tuvalu, Amerika Serikat, dan Indonesia. “Perangko Indonesia cukup populer karena harganya yang sangat murah. Perangkonya juga bagus. Indonesia merupakan negara yang cukup terkenal. Saya pernah ke sini saat ada pameran filateli di Bandung beberapa tahun silam,” kata Max.




Max juga berharap generasi muda mau mempelajari dan mencintai perangko. “Perangko bisa menjadi alat edukasi untuk anak-anak. Mereka bisa belajar tentang sebuah negara, sejarah di baliknya, sekaligus geografinya,” pungkas Max.


Obrolan selama 26 menit itu masih terus membekas dalam benak saya. Ini merupakan pengalaman paling istimewa sepanjang hidup saya bisa berjumpa dengan salah satu tokoh (baca: korban) dari drama kekejaman Nazi Jerman. Selama ini, saya hanya membaca dokumen sejarahnya, film-filmnya, buku-bukunya. Tapi, saat ini, saya bisa duduk tanpa jarak dengannya. Berbagi sapa dan bertukar kartu nama.

Sigit Kurniawan