Legenda Atu Belah di Gayo Kian Tergerus Zaman

Bookmark and Share



SYAHDAN menurut cerita, dahulu di sebuah Kampung Penerun Kabupaten Aceh Tengah hiduplah satu keluarga yang mempunyai dua orang anak. Kedua orang tua anak tersebut hidup sebagai petani dan sesekali berburu rusa di hutan.



Ayah dari kedua anak itu juga kerap kali menangkap belalang di sawah. Belalang itu ditangkap untuk dimakan apabila tidak berhasil memperoleh binatang buruan. Belalang tersebut dikumpulkan sedikit demi sedikit di dalam lumbung.



Pada suatu hari, ia pergi ke hutan untuk berburu rusa. Di rumahnya, tinggal istri dan kedua anaknya. Pada waktu makan, anak yang sulung merajuk karena di meja tidak ada daging sebagai teman nasinya. Karena di rumah memang tidak ada persediaan lagi, maka kejadian ini membuat ibunya bingung memikirkan bagaimana dapat memenuhi keinginan anaknya yang sangat dimanjakannya itu.



Akhirnya, si ibu menyuruh anaknya tersebut untuk mengambil belalang yang berada di dalam lumbung. Sebelumnya, sang ayah telah memesan agar lumbung tersebut tidak boleh dibuka. Konon ketika si anak membuka tutup lumbung dan kurang berhati-hati, semua belalang yang mendapat kesempatan itu habis berterbangan ke luar.



Setelah kejadian itu, ayahnya pulang dari berburu. Ia kelihatannya sedang kesal karena tidak berhasil memperoleh seekor rusa pun. Sang ayah menjadi murka ketika mengetahui semua belalang yang telah di kumpulkan dengan susah payah, terlepas dan terbang melarikan diri.



Karena tidak bisa mengendalikan emosinya sang ayah kemudian memotong payudara sang istri dan kemudian memanggangnya. Daging hasil potongan tubuh istri nya tersebut kemudian dimakannya sebagai lauk nasi.



Sang istri yang telah berlumuran darah dan dalam kesakitan itu segera meninggalkan rumahnya. Dalam keadaan putus asa si wanita tersebut pergi ke hutan. Di dalam hutan, si ibu menemukan sebongkah batu. Melihat batu itu, sang Ibu kemudian meminta kepada batu agar menelannya. Hal tersebut dilakukannya, agar penderitaan yang di rasakan supaya segera berakhir.



Selepas itu si ibu bersyair dengan kata-kata; Atu belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu. Artinya kira-kira “Batu belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu. Syair itu dinyanyikan berkali-kali secara lirih oleh ibu yang malang itu.



Tiba-tiba suasana berubah. Cuaca yang sebelumya cerah menjadi gelap disertai dengan petir dan angin besar. Pada saat itu pula batu tersebut terbelah menjadi dua dengan perlahan-lahan. Tanpa dipenuhi keraguan lagi, si ibu melangkahkan kakinya masuk ke tengah belahan batu tersebut yang kemudian tertutup usai sang ibu masuk ke dalamnya.



Legenda Atu Belah (Batu Belah) milik masyarakat dataran tinggi Gayo itu, kini mulai tergerus zaman. Mayoritas anak-anak jaman sekarang tidak mengetahui lagi cerita tentang Atu Belah itu dan keberadaannya di mana. Sayangnya, lokasi legenda rakyat ini pun tidak mendapat perhatian sama sekali oleh pemerintah daerah.



Kepala Seksi Destinasi dan Objek Wisata, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Elfitra Zikriadi mengatakan pihaknya tidak mempunyai dana untuk memugar legenda yang ada di daerah tersebut.



“Apalagi mayoritas situs-situs legenda itu, berada di tanah masyarakat,” ujar dia.



Kata Elfitra, Pemda melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga akan berupaya untuk memugar tempat sejarah dan legenda-legenda tersebut. Pemugaran ini dilakukan guna menarik wisatawan ke Aceh Tengah.



Saat diwawancarai The Atjeh Post, Elfitra menghimbau agar situs-situs sejarah dan legenda yang ada di tanah masyarakat, tidak diganggu sehingga mengakibatkan perubahan bentuk.


“Selain mengurangi keindahan juga berbenturan dengan Undang-undang Kepariwisataan,” akhirinya.[]

AP