NUSA TENGGARA-MALUKU: DALAM PENELUSURAN PENYEBARAN AWAL MANUSIA DI DUNIA

Bookmark and Share


NUSA TENGGARA-MALUKU:

DALAM PENELUSURAN PENYEBARAN AWAL MANUSIA DI DUNIA

&

PENEMUAN HOMO FLORESINENSIS

Oleh Chris Boro Tokan

Pendahuluan

Wilayah NUSA TENGGARA-MALUKU, menggambarkan letak geografi yang selalu disebutkan dalam mitos-mitos dan kajian tentang SURGA Di TIMUR: yakni di bagian TERSELATAN GARIS KATULISTIWA,wilayah TIMUR, arah TENGGARA!!!

Keyakinan KRISTEN menyebut SURGA di TIMUR, sedangkan Keyakinan BUDHA menyebut SURGA di BARAT!!!, sesungguhnya DUA KEYAKINAN itu menegaskan hanya satu letak geografis yaitu TIMUR TERJAUH dan BARAT TERJAUH yakni WILAYAH MALUKU-NTT. Letak geografis ini yang oleh filsuf Plato menjelaskan dua daratan yang berhadapan (antipoda), yakni MALUKU-NTT, dan dikelililingi oleh DUA SAMUDERA: Hindia TIMUR (zamudera Pasifik) dan Hindia BARAT (Zamudera Hindia). Juga Filsuf Plato menyatakan wilayah itu dengan flora wangi2an: tertelusuri CENDANA di NTT, yang awalnya di di Kepulauan SOLOR kekinian, sedangkan CENGKEH-PALA di Maluku.

Namun para pedagang mengalihkan nama MALUKU (Mollucass) ini ke semenanjung MALAYA dengan nama MALAKA, di saat bandar perdagangan TIMUR dengan BARAT berpindah ke MALAKA setelah terbukanya JALUR SUTRA yang memungkinkan JALAN DARAT dari CINA (TIMUR) ke BARAT via MALAYA. Sedangkan sebelum terbukanya JALUR SUTRA maka hanya melalui JALUR pelayaran LAUT, yang oleh Filsuf Plato menegaskan sebagai sebuah WILAYAH YANG DAHULU MENJADI SATU-SATUNYA JALUR YANG DILALALUI/dilayari DARI TIMUR (CINA) melayari zamudera Pasifik (Hindia Timur) menuju/ turun ke MALUKU untuk ke wilayah BARAT (Jawa, India,Mesir, Afrika, Junani ) via NUSA TENGGGARA untuk menyusuri zamudera Hindia (Hindia Barat) untuk mencapai BARAT, ataupun sebaliknya!!!

Maka itu ibu kota Kabupaten Flores Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal dengan LARANTUKA=RARANTUKA=JALAN TENGAH=JALAN PERSINGGGAHAN dari Dunia BARAT ke Dunia TIMUR. Artinya bahwa WILAYAH ini (NUSA TENGGARA-MALUKU), adalah wilayah PERTEMUAN dari PERADABAN TIMUR dengan PERADABAN BARAT: wilayah AWAL MULA dalam Kitab KEJADIAN (Genesis)! Tidak berlebihan apabila wilayah lautan Pasifik yang menaungi wilayah Indonesia dikenal juga dengan Lautan Teduh. Karena Jauh sebelum daratan Eropa dapat dicapai melalui darat dari negeri Cina, maka sesungguhnya telah ada jalur dagang antara Asia Timur dengan Asia Selatan, Indonesia khususnya Negeri Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku. Dokumentasi Museum 1000 Moko-Kalabahi, Kepulauan Alor dapat menjadi indikatornya, yang walaupun mungkin tidak begitu tergali nilai historical dan culturnya apalagi arkeologisnya karena jalur itu adalah ‘intern’ dan sangat purba. Karena baru menjadi ‘pengetahuan’ dan ‘ekstern’ ketika bangsa Eropa menelusuri jalur tersebut dengan membaginya ke dalam kelompok kesamaan ‘metoda ilmiah penelitian’ ala ‘Jalan Sutra’ di Asia tengah ke Eropa perihal jalur perdagangan ‘Opium’.

Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara – Maluku dan Awal Penyebaran Gen

Seorang Profesor di bidang Genetika dari Oxford University bernama Stephen Oppenheimer dalam bukunya EDEN IN THE EAST, 1998 diindonesiakan SURGA DI TIMUR, 2010 menghentakan mata hati dan pikiran dunia, bahwa ketika kita melihat kepada distribusi tiga generasi maternal nenek Asia, ibu Asia Tenggara, dan motif Polinesia, lokasi kunci yang memegang ketiganya ternyata Indonesia Timur (lihat Gambar 31 tentang Sejarah Genetis Motif Polinesia, hal. 278). Versi nenek Asia yang lebih tua, dengan hanya satu substitusi tunggal, sejauh ini belum ditemukan di daerah Melanesia yang bertetangga tapi lazim di Indonesia Timur sampai perbatasan dengan Melanesia. Wilayah Nusa Tenggara dan Maluku berbeda dari Asia Tenggara lainnya dalam hal ini mempunyai tiga generasi: matriarki Asia bertumpukan di sini dengan Anak perempuan Asia Tenggara-nya dengan cucu perempuan motif Polinesia-nya dengan subtitusi tiga kali. Ini merupakan bukti lebih jauh bagi keantikan populasi.

Singkatnya model perpaduan Asia Tenggara yang diusulkan oleh penanggalan-penanggalan ketiga mutasi berurutan ini adalah sebagai berikut. Yang tertua dari varian penghapusan 9-bp Asia atau nenek Asia bisa berasal di suatu tempat di Asia sampai 60.000 tahun lalu dan mencirikan sebuah pergerakan populasi Cincin sirkum-Pasifik ke utara ke Amerika dan ke tenggara sejauh ke Maluku. Subtitusi kedua untuk memproduksi ibu Asia Tenggara terjadi di suatu tempat di Asia Tenggara, mungkin 30.000 tahun lalu, dan lalu menyebar ke seluruh Cina Selatan, Asia Tenggara (hal. 282), dan Maluku setidaknya 17.000 tahun lalu. Akhirnya subtitusi ketiga yang memproduksi motif Polinesia terjadi sekitar 17.000 tahun lalu di Indonesia Timur dan kemudian di bawa ke Pasifik oleh dua migrasi maritime berturut-turut oleh orang-orang yang mungkin menuturkan bahasa-bahasa Austronesia dari keluarga Oseanik. Yang pertama mungkin tiba di Melanesia Utara 6.000 tahun lalu, menghuni kelompok pulau Bismarck dan pesisir utara Papua Nugini, dan mungkin telah menyebar sejauh Kepulauan Salomo Utara (hal. 283)

Oppenheimer merangkum bukti dari penanda-penanda genetis Adam dan Eva bagi sebuah penyebaran timur ke barat sebagai berikut: penghapusan 9-bp Asia dibawa ke India selatan sebagai ibu Asia Tenggara, seorang wanita yang mungkin menuturkan bahasa Austronesia. Klan-klan maternal kelompok F dalam klasifikasi Antonio Torroni, yang lebih jelas tertaut kepada para penutur Austro-Asiatik di daratan Asia menyebar secara radial (menjari) ke utara ke Indo-Cina dan Tibet, ke barat yaitu India Utara…. (hal.302). .. Wilayah yang terpengaruh menyebar dalam sebuah gelombang dari Pasifik Selatan di tenggara, melalui Asia Tenggara, Cina selatan, India, Arab, Timur Tengah, dan akhirnya ke mediterania di Barat Laut (hal.303).

Tiga kesimpulan umum bisa ditarik dari penjelajahan perpustakaan tertua di dunia. Pertama, adalah bahwa penanda-penanda genetis yang telah menyebar secara radial keluar dari Asia Tenggara, dibawa oleh orang-orang yang menuturkan bahasa-bahasa Austronesia dan Austroasiatik, dua-duanya berada di wilayah pulau ini pada Zaman Es atau lebih lampau lagi. Ini bertentangan dengan pandangan konvensional tentang penyebaran Austronesia baru-baru ini keluar dari Asia melalui Filipina. Kedua, di mana pohon-pohon genetis telah dibangun bagi penanda-penanda genetis Asia Timur, termasuk yang di Tibet, populasi-populasi pribumi yang masih ditemukan di Asia Tenggara dan menuturkan baik bahasa Austro-Asiatik maupun Austronesia ditempatkan pada cabang-cabang terawal. Ketiga, penanda-penanda ini dibawa ke Timur ke Pasifik, ke barat ke India dan Timur-Tengah, ke utara ke Taiwan, Cina, Burma, dan Tibet, dan ke selatan ke Australia sejak Zaman Es terakhir (hal. 311.)

Gen-gen kita, bahasa-bahasa ibu kita, peninggalan arkeologis leluhur kita merupakan semua ciri sejarah dan prasejarah yang menarik untuk dipelajari. … seperti jejak-jejak yang lebih hidup dari sebuah masa lalu yang bermigrasi, yaitu jejak-jejak yang dibawa oleh para pedagang dan penjelajah di dalam pikiran mereka, dan bisa disampaikan dengan bebas dari satu orang ke orang lainnya, yaitu legenda dan mitos. Meskipun ceritera-ceritera hidup ini membentuk hanya satu sisi dari banyak dimensi budaya, tetapi telah menyampaikan dan menyebarkan intisari pandangan-pandangan kita tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi (hal 311). Hal ini telah mengusik perhatian dan menuntun seorang Profesor di bidang Gen bernama Stephen Oppenheimer dalam memahami mengapa dua varian talasemia yang berbeda bisa berada di wilayah Papua Nugini melalui kisah mitos Dua Bersaudara Yang Berperang. Dengan sebuah legenda dan mitos bagi Oppenheimer sebagai sebuah penanda pembauran budaya, mereka juga mempunyai sebuah keantikan, kekhususan, dan tujuan yang sering tidak ditemukan dalam batu, tulang, langsi dan sisilah (hal. 312).

Kerangka kajian Oppenheimer

Pembuktian Oppenheimer bahwa:”Di sini di Indonesia Timur, ini mempunyai rasio 20% antara para penutur Austronesia maupun non-Austronesia di Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku, yaitu Alor, Flores, Hiri, Ternate dan Timor. Motif Polinesia absen lebih jauh ke barat di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Indo-Can. Keberagaman varian motif Polinesia juga tersebar di Maluku dan Nusa Tenggara, mengusulkan para leluhur dari populasi-populasi terasing itu sebagai situs asal-usulnya”. …Martin Richards dari laboratorium Oxford University memperkirakan ulang waktu asal-usul motif pada orang-orang Indonesia Timur dan memperoleh angka sekitar 17.000 tahun lalu.Distribusi motif Polinesia tampaknya membangun semacam jembatan genetis antara wilayah linguistic Oseania ke timur dan Indonesia Timur Tengah bertutur Melayu-Polinesia ke barat, tapi juga mengusulkan sebuah titik permulaan yang berbeda dan waktu asal-usul ke kereta (baca: penyebaran, pen) Austronesia pertama ke Oseania. Motif Polinesia yang diduga dipegang oleh para wanita Austronesia datang dari Asia Daratan, dan meninggalkan Asia Tenggara 3.500 tahun lalu, malah mempunyai cap Maluku local yang berpenanggalan 17.000 tahun lalu, dan tidak ada tempat asal yang dekat di mana pun ke barat Garis Wallace, apalagi di Filipina, Taiwan, atau Cina. Tidak hanya motif Polinesia terbatas kepada wilayah-wilayah Wallacia yang tertutup sampai ujung Papua Barat, tetapi sebagaimana di Papua Nugini daratan ini menduga penanda Austronesia lagi-lagi secara seimbang tercampur kepada pulau-pulau bertutur non-Austronesia juga, maka mendukung bukti genetis bagi keantikan yang jauh lebih besar (hal.276).

Ketiadaan motif polinesia di Taiwan, Filipina, dan sebagian besar Indonesia Barat dan keantikan lokalnya sekitar 17.000 tahun lalu di Indonesia Barat adalah bukti terkuat melawan (hal.276) kereta ekpress (maksudnya:penyebaran (pen)), yang berusia 3.500 tahun lalu. Hipotesis tentang sebuah perluasan maritime Austronesia yang lebih awal ke Pasifik masih bertahan. Satu hal yang tidak diberitahukan kepada kita oleh motif Polinesia adalah di mana lokasi bertolaknya perluasan timur ke Samoa itu, apakah dari pesisir utara Papua Nugini atau sebuah migrasi segar dari Indonesia Timur. Ada gunanya melihat jawaban bagi pertanyaan ini melalui mata orang awam tapi dengan perhitungan (hal.278) yang sangat informative. Perbandingan-perbandingan rumit tentang dimensi-dimensi tengkorak telah menegaskan apa yang Kapten Cook kali pertama lihat dan dapat dilihat oleh pengunjung lainnya. Misalnya bahwa orang-orang Polinesia lebih mirip orang-orang Asia Tenggara, agak berbeda dari Melanesia, dan sama sekali tidak seperti Cina atau Aborigin Australia. Antropolog Michael Petrusewsky di University of Hawaii telah memperbaiki kajian ini pada populasi Asia dan Pasifik. Temuan-temuannya dipetakan secara grafis, menunjukan orang Polinesia dari banyak lokasi membentuk sebuah gugusan ketat mereka sendiri dengan orang-orang Micronesia dan para penghuni Pulau Admiralty (lihat gambar 32, hal.280). Gugusan ini berada di tengah-tengah antara Melanesia dan Asia Tenggara. Setiap ekstrem masing-masing diambil oleh Aborigin Australia di satu kutub dan di kutub lain ada Cina, Taiwan, dan Asia Utara. Secara signifikan, tetangga Asia yang paling mirip Polinesia adalah dari Laut Sulu di timur Borneo, dan paling tidak mirip dari semua kelompok Asia Tenggara adalah orang-orang Filipina. Di kutub lain, Melanesia terdekat adalah orang-orang Fiji (hal. 279).

Menurut Oppenheimer, bahwa deduksi pertama dari gambaran ini adalah bahwa orang-orang Polinesia tidak baru-baru ini berasal dari Melanesia, Cina, Taiwan, atau Filipina, tapi kemungkinan mereka berasal dari Sulawesi di Indonesia Timur. Orang-orang Melanesia mempunyai penanda-penanda genetis yang sama secara eksklusif dengan orang-orang Asia Tenggara dan tidak dengan Melanesia. Penanda-penanda ini lebih jauh lagi mendukung pendapat tentang sebuah penyebaran orang-orang Polinesia keluar dari sebuah populasi Indonesia Timur local (hal.279). Menempatkan semua bukti kerangka dan mtDNA bersama-sama, model yang paling sederhana bagi perluasan Polinesia akhir 3.500 tahun lalu adalah bahwa ini muncul dari sebuah populasi Indonesia Timur yang telah ada sebelumnya, bergerak dengan cepat ke timur, lewat pulau Admiralties, melewati daratan Papua Nugini Utara tapi mengambil beberapa agen Melanesia sebelum tiba di Samoa. Hal ini merupakan model yang sama menurut Oppenheimer seperti telah ditemukan dari gabungan arkeologi dan linguistic (bab 2 hal. 53-96 dan bab 5 hal. 191-244).

Sudut pandang sebuah asal-usul Indonesia Timur local berusia 17.000 tahun bagi motif Polinesia yang dibawa oleh orang, para penutur Austronesia ke Pasifik sekarang mulai membantu tersingkap misteri negeri asal Austronesia (hal. 280). Motif Polinesia tiga kali (baca: gen nenek, ibu, anak, pen), meskipun dibatasi terutama untuk para penutur Melayu-Polinesia dan Oseania, masih terhubung dengan penghausan 9-bp Asia Tenggara lainnya, tapi pada lebih dari satu pembuangan. Kajian tentang ketiga situs subtitusi ini mengungkap bahwa mereka membentuk sebuah garis maternal Asia yang berurutan. Yang pertama dari tiga substitusi ini mungkin terjadi setelah penghapusan 9-bp, dan sebelumnya terbawa ke Amerika. Perkiraan-perkiraan bagi dua peristiwa mutasi ini kembali sebanyak 60.000 tahun. Subtitusi pertama yaitu nenek Asia, adalah bentuk dominan penghapusan 9-bp di antara penduduk asli Amerika sekarang, dan tersebar luas dan lazim di seluruh Asia Tenggara. Mungkin ini berasal dari antara para leluhur orang-orang Pribumi bertutur Orang Asli Austro-Asiatik di Asia Tenggara, semuanya hari ini mempunyai jenis nenek Asia substitusi pertama, tanpa varian-varian berikutnya. Meskipun demikian, nenek Asia juga bisa telah muncul lebih jauh ke utara di sepanjang pantai Cina Selatan 60.000 tahun lalu (hal. 281).

Subtitusi pertama di keluarga ini memproduksi varian dua.Varian kedua telah menyebar ke seluruh Cina Selatan, Kepulauan Asia Tenggara, dan Oseania, bahkan India Selatan. Maka inilah yang paling luas tersebar di antara ketiga varian di Asia Tenggara. Varian kedua ini sebagai ibu Asia Tenggara. Frekuensi tertingginya adalah di antara para Pribumi Taiwan, dan atas dasar ini, digabungkan dengan keberagaman yang tinggi, sehingga seorang ahli genetika Amerika yang bernama Terry Melton mengusulkan sebuah asal-usul Taiwan bagi ibu Asia Tenggara dari leluhur maternalnya, yaitu nenek Asia Tenggara. Masalah dengan hipotesis ini adalah beberapa populasi Pribumi Taiwan, seperti Ami, tidak mempunyai bingkai nenek Asia yang mendahului (hal. 281) yang malah umum di Asia Tenggara dan seluruh Amerika. Gambaran setengah-setengah seperti itu lebih mengusulkan bahwa Taiwan adalah tempat penerima, daripada asal-usul ibu Asia Tenggara. Kelahiran ibu Asia Tenggara dari nenek Asia-nya ditempatkan pada 30,000 tahun lalu. Angka ini sangat spekulatif sesuai dengan perkiraan-perkiraan terawalnya Johanna Nichols untuk awal penyebaran-penyebaran bahasa mengelilngi Cincin Pasifik. Apa pun penanggalan asli kelahiran ibu Asia Tenggara , ini terjadi jauh sebelum tanggal yang didalilkan bagi kedatangan orang-orang Austronesia ke Taiwan dari Cina 7000 tahun lalu, maka tidak bisa digunakan sebagai argument untuk jalur itu.

Penemuan Homo Floresiensis

Sehubungan dengan kajian Oppenheimer yang menempatkan wilayah Nusa Tenggara-Maluku sebagai lokasi awal penyebaran gen/turunan manusia di dunia, maka para ilmuwan telah menemukan fosil-fosil tengkorak dari suatu spesies manusia yang tumbuh tidak lebih besar dari kanak-kanak berusia lima tahun di goa di Flores, Indonesia. Manusia kerdil yang memiliki tengkorak seukuran buah jeruk ini diduga hidup 13.000 tahun lalu. Penemunya adalah ilmuwan-ilmuwan Indonesia dan Australia. Para ilmuwan yakin tengkorak yang mereka temukan ini berasal dari spesies manusia yang benar-benar baru bagi dunia ilmu pengetahuan.

Tengkorak pertama dari spesies yang kemudian disebut sebagai Homo Floresiensis atau Manusia Fores itu ditemukan September 2003. Ia berjenis kelamin perempuan, tingginya saat berdiri tegak kira-kira satu meter, dan beratnya hanya 25 kilogram. Ia diduga berumur sekitar 30 tahun saat meninggal 18.000 tahun lalu.Tengkorak dan tulang belulangnya ditemukan dalam sebuah lokasi endapan di goa Liang Bua, dimana dijumpai pula beberapa peralatan batu dan tulang belulang gajah kerdil, hewan-hewan pengerat sebesar anjing, kura-kura raksasa, dan tulang Komodo. Perbandingan ukuran tengkorak Homo floresiensis dengan tengkorak manusia modern, Homo sapiens. Karena ukurannya, Homo floresienses dianggap sebagai penemuan paling spektakuler dalam dunia paleoanthropology sejak setengah abad ini, dan dilukiskan sebagai spesies manusia paling ekstrim yang pernah ditemukan.

Mereka tinggal di Flores sekitar 13.000 tahun lalu, yang artinya mereka ada saat manusia modern (Homo sapiens) juga ada. “Menemukan makhluk yang berjalan dengan dua kaki dan berotak kecil pada periode waktu dimana manusia modern telah eksis adalah sesuatu yang amat menakjubkan,” kata Peter Brown, seorang paleoanthropologis dari Universitas New England di New South Wales, Australia. “Penemuan ini benar-benar tidak disangka,” kata Chris Stringer, direktur program Human Origins di Museum Natural History, London. “Menemukan manusia purba di Flores saja sudah hebat. Bahwa mereka berukuran hanya satu meter dan memiliki otak seperti otak simpanse adalah hal yang lebih menakjubkan. Dan fakta keberadaan mereka yang hidup 20.000 tahun lalu, dimana nenek moyang manusia modern mungkin pernah bertemu mereka adalah hal yang sungguh-sungguh luar biasa.”

Para peneliti memperkirakan orang-orang kerdil ini hidup di Flores sejak sekitar 95.000 tahun lalu hingga setidaknya 13.000 tahun lalu. Mereka mendasarkan teori ini atas perhitungan karbon terhadap tulang belulang dan peralatan batu yang ditemukan bersama fosil. Orang-orang kerdil ini mungkin bangsa pemburu karena ditemukan pula bilah-bilah pisau batu, ujung panah atau tombak, serta peralatan memotong lain. Penemuan ini menunjukkan bahwa genus Homo ternyata lebih bervariasi dan lebih luwes dalam kemampuan adaptasinya dibanding perkiraan semula. Genus Homo sendiri termasuk di dalamnya adalah manusia modern (Homo sapiens), Homo erectus, Homo habilis, dan Neandertals, memiliki ciri-ciri adanya rongga otak yang relatif besar, posturnya tegak, dan mampu membuat peralatan.

“Homo floresiensis adalah tambahan bagi daftar spesies manusia yang hidup pada waktu bersamaan dengan manusia modern. Walau tubuhnya lebih kecil, otaknya lebih mungil, dan mempunyai anatomi tubuh yang merupakan perpaduan primitif dan modern, spesies ini tetap dimasukkan dalam genus Homo. Para peneliti menduga orang-orang kerdil ini berevolusi dari ukuran manusia normal, yakni dari populasi Homo erectus yang mencapai Flores sekitar 840.000 tahun lalu. “Secara fisik mereka berukuran sama dengan anak-anak manusia modern berusia tiga tahunan, namun dengan rongga otak hanya sepertiganya,” kata Richard Roberts, seorang geochronologist dari Universitas Wollongong, Australia. “Mereka memiliki lengan lebih panjang, tulang alis lebih tebal, dahi yang miring, dan tidak mempunyai dagu”. Rahang bawahnya diisi gigi-gigi besar tumpul seperti gigi Australopithecus, manusia purba yang hidup di Afrika lebih dari tiga juta (3.000.000) tahun lalu. Gigi depannya lebih kecil seperti gigi manusia modern. Lobang mata manusia Flores ini besar dan bulat, dan tulang pinggulnya tampak primitif, mirip bangsa kera. Walau secara keseluruhan tidak terlihat seperti manusia modern, beberapa perilaku mereka sungguh mirip manusia.

Orang-orang Flores ini menggunakan api dalam perapian untuk memasak. Mereka juga berburu stegodon, sejenis gajah kerdil primitif yang hidup di sana. Walau kerdil, seekor stegodon bisa mencapai berat 1.000 kilogram, dan pasti merupakan tantangan besar bagi pemburu-pemburu dengan ukuran tubuh seperti anak-anak. Artinya perburuan haruslah dilakukan dengan komunikasi efektif dan perencanaan, kata para peneliti. Hampir seluruh fosil stegodon yang berkaitan dengan manusia kerdil itu berasal dari hewan muda, menunjukkan bahwa orang-orang itu memilih untuk memburu stegodon kecil. Dari fosil yang dijumpai, makanan orang-orang Flores itu termasuk ikan, katak, ular, kura-kura, burung, dan hewan-hewan pengerat.

Mereka itu bukanlah jenis yang bodoh karena berhasil bertahan berdampingan dengan jenis kita setidaknya selama 30.000 tahun tanpa kita sadari. Mereka juga bisa membuat beberapa peralatan batu, memburu gajah pigmi, dan menyeberangi setidaknya dua laut untuk mencapai Flores dari Asia. Dan uniknya dengan otak yang hanya sepertiga otak kita. Namun mereka, bersama dengan gajah-gajah kerdil punah akibat letusan gunung api besar.

Pikiran Konklusif

Tentu sebelum kajian Oppenheimer mengenai penyebaran awal manusia, maka Garis Wallace-Weber yang disempurnahkan oleh Thomas Huxley, telah menegaskan dunia purba flora-fauna. Poros-nya di wilayah yang dibuktikan Oppenheimer itu. Berikut kajian F.A.E. van Woden 1935 dari universitas Leiden, Negeri Belanda, dalam disertasinya “SOCIALE STRUCTURTYPEN IN DE GROOTE OOST” 1935, diindonesiakan “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur” 1985, menunjuk praktek budaya chemistry (keharmonisan/dialektika) itu di wilayah Nusa Tenggara-Maluku: dalam Konsep DUALISME KOSMOS (langit-bumi/Peradaban) dan DUALISME SOSIAL (Manusia Perempuan-Laki/Kebudayaan). Dipraktekan sampai sekarang di kepulauan Solor (Solor=Matahari): Adonara-solor-Lembata, juga di pulau Flores bagian Timur (LAMAHOLOT) dengan sebutan LEWOTANAH. Persilangan Peradaban (Dualisme Kosmos: Matahari-Bulan/Rera-Wulan dengan Bumi/Tanah-Ekan) dengan Kebudayaan (Dualisme Sosial: Perempuan-Laki)=SALIB=LEWOTANAH.

Artinya saya mau katakan bahwa Flora-Fauna, Manusia AWAL MULA dari Kepulauan Matahari (Solor) Purba: Nusa Tenggara (minus Bali)-Maluku. Dari sana pula asal-usul budaya chemistry itu. Kalau Wallace-Weber membuktikan melalui penyebaran Fauna-Flora, maka Oppenheimer membuktikan dengan penyebaran awal GEN manusia Asli, juga bahasa Austronesia sebagai sumber bahasa dunia, dengan berbagai bukti arkeologis yang ditunjuk dalam bukunya SURGA DI TIMUR itu.

Ciri khusus flora yang menandai wilayah taman eden yang hilang seperti disebut filsuf Plato, Wangi-wangian (Cendana-Cengkeh-Pala) memang di wilayah ini. Keunikan flora ini telah menjadi perselisihan bangsa Eropa (Spanyol-Portugal) yang harus dilerai/mediasi oleh Vatikan (baca CATATAN-ku di wall FB-ku tentang CENDANA,CENGKEH-PALA—dstnya”). Begitupun ciri fauna yang disyaratkan Plato, seperti Gajah (penemuan fosil gajah purba di Flores), jugaGADING gajah itu sampai kini menjadi belis (mas kawin) pada masyarakat Lamaholot pada umumnya (pulau Flores bagian Timur, Adonara, Solor, Lembata), khususnya masyarakat Pulau Adonara. Sedangkan secara geologis, maka geografi Nusa Tenggara-Maluku kekinian merupakan daratan baru (listofer) dari benua yang hilang (Atlantis) itu. Dapat dijelaskan melalui teori pergeseran benua dan dialektika geologi (CATATAN-ku: DIALEKTIKA GEOLOGI NUSA TENGGARA MALUKU…dstnya”.

. Dengan demikian kalau ditandaskan garis Wallace-Weber bahwa Wilayah Poros sebagai wilayah pembagi, dalam pemaknaan Fauna-Flora yang ada di Poros, dapat ke Dataran Sunda (BARAT), juga ke Dataran Sahul (TIMUR). Sedangkan di wilayah BARAT tidak mungkin ke TIMUR, dan sebaliknya. Maka Oppenheimer membuktikan penyebaran manusia dari wilayah Poros (Nusa Tenggara-Maluku) itu melalui kajian GEN orang Asli dan penyebaran Bahasa Austronesia (ke Timur, Barat, Utara, selatan) secara rinci: Utara itu ke Cina melalui Sulawesi dan Sabah, Selatan ke Australia (Aborigin), Timur ke Papua dan Pasifik, Barat ke Jawa (Jawa Purba itu satu daratan dengan Kalimantan-Sumatra-Semananjung Malaya) terus ke India-Mesir- Yunani. Tadi ke Cina itu kelak ke Jepang, juga melalui selat Bering yang dulu masih daratan dengan Amerika akan sampai di Amerika.

Penyebaran yang dikaji Oppenheimer itu lebih menjelaskan kerangka diaspora di saat pemecahan massa benua 3 (kepunahan massal 1) yang mengakhiri Zaman Mesozoikum. Sedangkan menjadi lebih rinci ditunjuk Arysio Santos dalam buku “ATLANTIS THE LOST CONTINENT FINALLY FOUND”, 1997 diindonesiakan “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA”, 2009 itu, sesungguhnya menjelaskan diaspora saat akhir zaman Neozikum/akhir Zaman Es (kepunahan massal 2). Walaupun Arysio Santos menunjuk SURGA DI TIMUR itu di paparan Sunda antara Jawa-Kalimantan-Sumatra. Namun yang terpenting di sini rincian penjelasannya tentang penyebaran manusia setelah akhir zaman es (banjir nabi Nuh) itu untuk membantu pemahaman atas kajian Oppenheimer. Sehingga kalau ke UTARA itu menjadi peradaban CINA, ke BARAT menjadi Peradaban INDIA. Kemudian bergeser ke MESIR (piramida), .ke YUNANI menjadi FILSAFAT (LOGIKA, ETIKA, ESTETIKA), ke ROMAWI menjadi SALIB KRISTEN, ke ARAB menjadi BULAN-BINTANG ISLAM. Kemudian melalui AGAMA moderen sebagai pintu gerbang MODERNISASI. maka tampil ILMU PENGETAHUAN seolah-olah AWAL MULA dari PERADABAN & KEBUDAYAAN itu dari BARAT.

Jadi sesungguhnya REVOLUSI NEOLITIKUM yang memperangah dunia waktu itu dan sampai sekarang, dengan berbagai kemajuan di Cina, India, Mesir, Yunani, dsb, datang dari POROS (Timur terjauh-Barat terjauh). Sampai sekarang masih menjadi MISTERI tentang bagaimana terjadi revolusi neolitikum itu, kemajuan sedemikan gemilang waktu itu, yang terus mengilhami berbagai kemajuan sampai kekinian dan tentu akan datang nanti itu, bagaimana dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan?. Sampai-sampai Karl Marx frustasi dengan filsafat materialisme-nya itu, lalu menuding revolusi neolitikum sebagai revolusi tukang SIHIR. Maka itu penemuan homo floresiensis sesungguhnya juga menjelaskan titik poros yang memediasi misteri penjelasan manusia Raksasa dengan Manusia Kerdil atau manusia Purba dengan Manusia Moderen. Karena adanya bencana (kepunahan massal 1 dan 2) di akhir zaman mesozoikum dan di akhir zaman neozoikum/akhir zaman es menyebabkan manusia, flora, fauna yang selamat menyebar ke berbagai penjuru muka bumi saat itu. Namun dapat terpahami dan termaklumi dalam filsafat purba poros (Solor) dengan simbol ular sebagai matahari purba: “Koten pana doan, Ikung gawe lela naan nuan tutu, nahku nuan tou geniku uliten-empatan muren te Tukak-tukan”, artinya “menyebar sampai jauh ke barat dan bergerak terus sampai ke timur untuk menjadi saksi zaman, namun tetap suatu saat selalu kembali ke poros/sumber”.

Renungkan!!!…bukan saja Karl Marx yang frustasi, begitupun Hegel dengan filsafat Idealisme-nya tidak mampu menjelaskan hal itu. Tidak sampai para filsuf itu saja, melainkan TUHAN-pun frustasi, sampai-sampai merusakan bahasa (komunikasi) di antara mereka saat mereka membangun menara babel untuk menyamai TUHAN. Apa kata TUHAN: “…mulai sekarang apa yang mereka rencanakan dan lakukan pasti berhasil, maka harus hentikanlah mereka” !!! Artinya kalau itu revolusi (menara babel) demi kemuliaan Tuhan dan kemanusiaan Manusia, tentu TUHAN tidak menghentikan. Namun karena kecongkakan mereka untuk menyamai atau melebihi TUHAN, dalam upaya mereka membangun menara babel itu yang menjadi persolan (Genesis 11:1-9).

Filsuf Hegel dengan filsafat kritisnya dalam bukunya Filsafat Sejarah, telah membedah filosofi kehidupan sebagai sebuah Roh (Sabda). Hanya Hegel mampu sebatas menegaskan bahwa hidup kehidupan dimulai dari Roh yang Idealisme (PIKIRAN), sebagai yang awal (tesis). Dikoreksi oleh Karl Marx (antitesis), bahwa hidup kehidupan dimulai dari Roh yang nyata (Materialisme). Tesis Hegel selanjutnya dikenal sebagai filsafat Idealisme, antitesis Marx di kenal sebagai filsafat Materialisme. Memahami hidup kehidupan (di Poros Bumi) Kepulauan Matahari (Solor) Purba (Maluku-Sulawesi-Nusa tenggara), maka tercermarti Filsafat Hegel ini sebagai Taran Wanan (tesis)/Filsafat Barat, sedangkan filsafat Marx ini sebagai Taran Neki (antitesis) Filsafat Timur. Sedangkan Filsafat Solor Purba (PANCASILA) sebagai sintesa merupakan Filsafat Poros, terilham dalam diri putra fajar Bung Karno sewaktu pengasingan di Ende-Flores.

Filsafat Poros mendamaikan/menselaraskan/menserasikan filsafat Barat (Hegel) dengan filsafat Timur (Marx):KODA/SABDA. Maka ada pendapat, bahwa orang cina (Filsafat Timur) untuk kekayaan materi, orang barat untuk kehebatan pikiran(Filsafat Barat), sedangkan orang lamaholot kekayaan nurani, atadiken (manusia). Atau filsuf Plato dengan filsafat DUA DUNIA-nya (Dunia JIWA/Hegel dan Dunia Badan-Raga/Marx. Maka menyatukan JIWA dengan BADAN itu adalah : ROH/Pancasila-Bung Karno. Orang Timur (CINA) boleh mempunyai kekuasaan materi (raga/badan), orang Barat boleh hebat (kaya) pikiran (jiwa), tetapi orang Lamaholot/Solor Purba mempunyai keagungan NURANI/ROH (kemanusiaan) yang menyatukan JIWA dengan BADAN. Filsafat BARAT/tesis, Filsafat TIMUR/antitesis, Filsafat POROS (PANCASILA/KODA) sebagai sintesa.

Kalau cermati dialektika berfilsafat ini, maka memang MANUSIA itu berawal dari POROS (Nurani), menyebar ke BARAT yang lebih mengutamakan pikiran, dan menyebar ke TIMUR yang lebih mengutamakan Raga/materi: nyata. Artinya konflik antara BARAT/tesis dengan TIMUR/antitesis, maka sintesa itu di POROS. Maka bukan berlebihan secara keyakinan kalau ada yang berseloroh bahwa konfik di Timur Tengan antara PALESTINA dengan YAHUDI hanya bisa selesai/damai secara tuntas kalau dengan cara/ritus Solor (Matahari) Purba:Nusa Tenggara-Maluku, yang sampai kini dipraktekan di LAMAHOLOT, yang dikenal dengan LEWOTANAH. Seloroh yang demikian tentu sebagai orang yang mengetahui dan meyakini bahwa SALIB KRISTUS itu sesungguhnya REPLIKA dari SALIB ATLANTIS, maka setelah terselesaikan/damai dengan cara Lamaholot, tentu dengan cara KRISTUS sebagai penyelamat/pendamai ABADI. Maka itu harus berdoa dengan sungguh-sungguh sesuai pola keyakinan kepada YESUS KRISTUS supaya perdamaian menjadi nyata di bumi maupun di akhirat, bagi setiap orang berpemeluk AGAMA apa saja !!!. Karena Kristus datang bukan membawa salah satu agama melainkan membawa TERANG untuk semua agama. Jadi Kristus sendiri datang ke dunia tidak pernah memprokamirkan diri membawa agama melainkan membawa terang.

Diharapkan ke depan generasi baru bangsa Indonesia yang menselaras-serasikan keagungan bathin dan kekayaan materi/jasmani, agar tidak terjebak dalam kegelapan duniawi!!! Bathin yang agung dan kelimpahan materi saling dialektik-integralistik-sinergik supaya mencahaya-terangkan kekaya-rayaan bangsa ini demi pencapain kesejahteraan bersama bathiniah-lahiriah seluruh rakyat Indonesia!!!***

Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 19 Mei 2012
Chris Tokan