RELASI ANTARA SYARI’AT DAN HAKIKAT

Bookmark and Share


Fasal 6: ANTARA SYARI’AT DAN HAKIKAT

(Bagian Pertama)

Syariat adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah yang dirujuk dalam al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia (al-Qur’an 51: 56). Sedangkan hakikat, yakni tasawuf, seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan: “engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah, dan seandainya engkau tidak melihat-Nya, niscaya Ia melihatmu,” merupakan pelengkap dari ibadah tersbut. Oleh karena itu, antara syarikat dan hakikat atau tarekat seharusnya tidak boleh dipisahkan, karena kalau dipisahkan hal tersebut akan menimbulkan masalah.

Syariat yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat adalah seperti sebuah bangunan kosong yang belum dihias. Sedangkan hakikat tanpa syariat akan seperti perhiasan tanpa ada yang dihias, sehingga akan menjadi tumpukan perhiasan yang acak. Oleh karena itu, sepatutnyalah kedua aspek penting dari agama kita ini tidak dilakukan dan dihayati secara terpisah, tetapi dipandang sebagai dua hal yang saling melengkapi dan dijalankan secara seimbang. Penekanan yang berat sebelah pada salah satu aspek dari keduanya hanya akan melahirkan ahli-ahli eksoterik formal (ahl al-zhahir) yang tidak bisa mengapresiasi dimensi spiritual dari ibadah formal mereka, atau sebaliknya ahli esoterik yang sama sekali meninggalkan ibadah-ibadah formal yang merupakan kewajiban bagi setiap individual Muslim.

Sebenarnya, kalau kita perhatikan tokoh-tokoh utama tasawuf, seperti Syaikh Junayd al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, mereka selalu berusaha dalam karya-karya utama mereka untuk menyelaraskan kedua aspek penting dari agama kita tersebut. Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, misalnya, al-Ghazali bukan hanya membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas dan nilai-nilai luhur Islam, tetapi bahkan, dalam bab-bab pertama kitab tersebut, beliau mendiskusikan aspek-aspek formal ibadah, seperti yang dilakukan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab fikih mereka, seperti tentang thaharah (bersuci), salat, zakat, puasa haji ke baitullah. Hanya saja kepada setiap ibadah formal tersebut ditambahkan makna batin atau spiritual dengan segala macam keutamaannya.

Prof. Mulyadhi Kartanegara