Sejarah Atlantis [I]: DialogTimaeus

Bookmark and Share


Dari sekian banyak mitos atau legenda tentang peradaban yang hilang mungkin hanya kisah Atlantis yang terdepan. Di tulis oleh Plato hampir 2500 tahun lalu dalam karyanya yang berjudul dialog Timaeus dan dialog Kritias, Atlantis di lukiskan sebagai sebuah negeri yang terletak di samudra Atlantik dan terbilang maju di jamannya. Penduduknya di gambarkan sebagai bangsa mulia tetapi lambat laun mulai meninggalkan sifat kemuliaannya itu. Dan sekitar 11.600 tahun yang lalu, Atlantis di landa gempa dan air bah, dan akhirnya tenggelam ke dasar laut.

Karya Plato (427-347 SM) tersebut merupakan saduran dari puisi Solon ketika penyair tersebut berkunjung ke Mesir sebagai duta Athena. Di sana ia melakukan penelusuran sejarah dan menemukan sejarah bangsanya sendiri di kehidupan terdahulu, kehidupan ketika leluhur Mesir masih berada di negeri antah-berantah yang letaknya jauh di luar Mediterania.

Hampir di seluruh muka bumi ini mempunyai cerita yang mirip Atlantis seperti Ragnarök (Nordik/ Skandinavia), Xibalba (Maya), Eden (Ibrani), Hawaiki atau Avaiki (Polinesia), Avalon (Inggris), Atala (Mahabarata), Atrahasis (Mesopotamia), Taman Hesperides (Yunani), padang Elysian (Mesir), pulau-pulau Berkat (Yunani), Aztlan (Aztek), Thule, Tula, Tlaloc, dan masih banyak lagi, yang kesemuanya di percaya sebagai negeri asal atau negeri leluhur. Umumnya di gambarkan mempunyai gunung vulkanik suci, lebih dari satu sungai yang juga suci, adanya pohon kehidupan, lalu bencana besar melanda dan peradaban atau surga itu pun lenyap, hilang, atau tenggelam. Semua penjabaran ini akhirnya menyimpulkan semua bangsa mempunyai satu sumber yang sama, leluhur yang sama. Terlebih lagi kisah-kisah di negeri awal peradaban tersebut sama-sama terkena musibah bencana yang membuat manusia tersebar ke berbagai penjuru bumi. Manusia yang terpaksa keluar dari sana lalu membuat eden-eden baru, atlantis-atlantis baru, mengingat dan mencatat hikmah dan pelajaran kehidupan leluhur ke dalam tradisi masing-masing.


Kelebihan dari negeri Atlantis di banding kisah sejenis lainnya adalah topografi atau rincian keadaan negeri tersebut sehingga sisa-sisa Atlantis pun kemudian di cari oleh berbagai kalangan sejak jaman Plato sampai sekarang. Para atlantolog itu melakukan penelusuran-penelusuran dan studi-studi perbandingan dari berbagai disiplin ilmu seperti, perbandingan mitologi, linguistik, astronomi, astrologi, antropologi, arkeologi, geologi, genetika, arkeoastronomi, volkanologi, oseanografi, konstruksi nautikal, navigasi, dan masih banyak lagi. Dan Atlantis, yang awalnya di duga berada di sekitar Mediterania, kini mulai memudar karena banyaknya wilayah-wilayah lain di dunia yang jauh lebih mendekati, dan Indonesia termasuk salah satu di antaranya.

Paul Kekai Manansala, Arysio dos Santos, dan Stephen Oppenheimer, adalah nama-nama penulis yang terkenal dengan karya-karya mereka, khususnya mengenai peradaban-peradaban kuno di Asia Tenggara. Manansala adalah penulis “The Naga Race” (1994) yang banyak menyumbang dari sisi linguistik dan budaya kuno Nusantara di dalam webblog-nya. Sementara buah karya Santos dengan Atlantis Indonesia-nya (1997) serta Oppenheimer yang mengusulkan Eden berada di wilayah Asia Tenggara (1998) hingga satu dekade kemudian juga tetap bertahan dan tidak tergantikan.

Bagi yang belum mengetahui kisah Atlantis tetapi sudah membeli buku-buku tersebut di atas, pastinya kecewa karena para penulisnya sudah tidak membahas dasar-dasarnya lagi (dialog Timaeus dan dialog Kritias). Jadi, di sini saya coba terjemahkan dialog Timaeus dan dialog Kritias, meski tidak keseluruhan, tetapi mudah-mudahan bisa membantu.


DIALOG-TIMAEUS

Di dalam dialog Timaeus, Plato menulis tentang konflik antara Athena dengan Atlantis, dua bangsa terbesar saat itu, hingga bencana yang datang melanda keduanya. Sedangkan pada bagian Dialog Kritias ia menulis rincian kegiatan dan keadaan kedua negeri tersebut. Adapun para pembicara dalam dialog Timaeus dan Kritias ini antara lain;
  • Kritias: si pembicara utama atau narator. Paman Plato ini juga muncul dalam dialog-dialog karya Plato lainnya.
  • Timaeus Locrus: tidak ada catatan mengenai orang ini, konon ia adalah ilmuwan rekan Plato yang berasal dari Locri, Italia.
  • Sokrates (470-399 BC): guru Plato, pada saat itu dia adalah filsuf Yunani yang paling terkemuka.
  • Hermokrates: tidak banyak percakapannya di sini. Dia adalah ahli strategi terkemuka dari Syracuse (Sisilia).
Mereka di sini membahas sejarah manusia, filsafat, politik, perbintangan, dan ilmu lainnya, termasuk juga tentang Atlantis yang di dengungkan oleh Solon, salah satu dari — tujuh orang bijak — Yunani. Plato mungkin mengetahui legenda ini dari Hecateus, namun ada pula yang beranggapan ia tahu dari pamannya sendiri, Kritias, yang memperolehnya dari kakeknya yang juga bernama Kritias, dan ketika Kritias-Tua masih belia, ia mendengarnya langsung dari ayahnya, Dropida yang ternyata teman dekat Solon. Di samping itu juga ada yang berkeyakinan bahwa sepulangnya Plato dari perjalanan melanglang buana, ia membuat dialog-dialog dengan karakter-karakter khayalan dengan memakai nama-nama orang yang di hormatinya;

Socrates
: Satu, dua, tiga,–tetapi kemanakah, ya Timaeus, tamu kita yang kemarin, yang ke empat, yang menjadi tuan rumah hari ini?

Timaeus: Ia sakit, Socrates; ia juga tidak rela melepas pertemuan ini.

Socrates:Kalau begitu, berarti kau dan dua lainnya mengisi tempatnya.

Timaeus: Pasti, dan kami akan melakukan yang terbaik, apalagi setelah keramah tamahan mu yang kami terima dari mu kemarin…


Dialog-dialog di atas merupakan pembuka yang di lanjuti dengan pembicaraan mengenai topik-topik yang di bicarakan sehari sebelumnya yang sebenarnya inti dari karya Plato yang lain (”Negarawan”, “Hukum”, “Republik”) mengenai masyarakat ideal. Pembicaraan ini sebenarnya berhubungan dengan pembahasan tema apa yang akan di gunakan untuk festival Athena mendatang. Kritias mengusulkan sebuah tema tentang kisah epik yang pernah ia dengar dari kakeknya, Kritias Tua. Ketika berumur 10 tahun, Kritias Tua pernah mengikuti festival Apaturia, festival untuk menghormati dewa anggur Dionysus (Romawi; Bacchus) putra Zeus (Jupiter) dengan istrinya dari ras manusia.

Ke semua peserta festival adalah anak laki-laki yang sebaya dengan Kritias, yang nantinya di hari ke-3 semua peserta di register atau di daftar sebagai tanda bahwa peserta telah menjadi pemuda, lalu membuat sesaji berupa air-anggur (wine) untuk Herkules. Hari ketiga itu di sebut hari Cureotis atau Kouroi (jejaka/ pemuda). Terjemahan lain menyebutnya hari pendaftaran pemuda (Registration of Youth) di mana para orang tua memberi hadiah kepada putra-putra mereka yang telah berhasil membaca puisi-puisi.
Di festival inilah Kritias mendengar kisah Solon, penyair dan reformis ekonomi Attika (Yunani), sekaligus ahli dalam bidang hukum, yang hidup 2600 tahun lalu (600 SM). Solon sebagai duta bangsa melakukan perjalanan ke Mesir untuk memperkenalkan kebudayaan negerinya. Sesampainya di Mesir Utara, ia mengunjungi kuil Neith di kota Sais di pinggir sungai Nil. Di sana ia berbicara dengan para pendeta tentang sejarah manusia yang di mulai dari kisah Phoroneus dan Niobe (Adam dan Hawa Yunani), lalu di susul dengan kisah bencana air bah yang menonjolkan kepahlawanan Deukalion dan Pyrrha (seperti Nuh dan istrinya) termasuk keturunan-keturunan mereka. Akan tetapi di tengah-tengah percakapan salah satu pendeta berkata;
“Wahai Solon, Solon, kamu orang Hellenes akan tetap menjadi anak-anak, karena tiada orang dewasa di antara kalian.”
Awalnya mungkin Solon tidak mengerti sindiran itu. Lalu pendeta itu menjelaskan nenek moyang orang Yunani tidak punya tradisi ataupun ilmu yang berarti yang bisa di turunkan kepada masyarakatnya, sebaliknya Mesir yang megah selama ribuan tahun menjadi besar di karenakan ilmu-ilmu yang di turunkan secara turun menurun dan terpatri abadi di semua kolom dan tiang termasuk lembaran-lembaran papirus yang terdapat di kuil-kuil atau pun di pemakaman raja. Solon mungkin malu dan bingung mendengarnya lalu ia minta di ceritakan tentang sejarah yang sebenarmya. Si pendeta itu pun menyanggupinya dan mulai bercerita;

“Telah terjadi, dan akan terjadi lagi, pemusnahan-pemusnahan terhadap umat manusia yang timbul dari berbagai sebab, yang terbesar telah di wakili oleh unsur api dan air, dan selebihnya skalanya lebih kecil namun tak terhitung banyaknya.”
Kemudian ia mengoreksi sejarah manusia yang telah di utarakan oleh Solon dengan menambah kisah Phaeton (api yang jatuh dari langit). Lalu ia menjelaskan apa yang telah menimpa negeri leluhur mereka dahulu, sehubungan dengan unsur-unsur yang ia sebut di atas, yaitu;
Api: bencana berupa samudra api yang menimpa Mesir dan menyebabkan orang-orang yang tinggal di pegunungan, dataran kering, dan dataran tinggi menjadi korban sementara bagi mereka yang tingal di perkotaan yang umumnya di pesisir pantai dan pinggir sungai selamat.
Air: bencana berupa air bah yang menimpa Yunani menyebabkan mereka yang tinggal di pesisir pantai dan perkotaan hanyut terseret banjir menyisakan beberapa yang tinggal di pegunungan yang umumnya para gembala yang miskin pendidikan dan miskin ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, Yunani mengulang lagi peradabannya dari awal.

Pendeta itupun melanjutkan ceritanya dari awal peradaban manusia yang di mulai dari Yunani 9000 tahun yang lalu (kira-kira 11.600 tahun yang lalu dari sekarang) dan Mesir 8000 tahun yang lalu (10.600 tahun lalu). Plato dalam tulisannya menulis bangsa ini sebagai bangsa-mulia yang terlahir dari Hephaestus (Vulcan) dan Ge/ Gaia (bumi). Hephaestus adalah dewa api, gunung vulkanik, dan teknologi (ahli logam).

“Pada awalnya, terdapat kasta/ kelas dari para pendeta, yang di pisahkan dari semua orang lain; selanjutnya, ada para pandai ahli atau para penemu (pengrajin, pencipta), tanpa saling bercampur (intermix), dan terdapat juga kelas gembala dan pemburu, juga para petani; dan kamu akan perhatikan juga bahwa serdadu di Mesir kelasnya berbeda dari yang lain, dan di tugaskan oleh hukum untuk mencurahkan diri sepenuhnya untuk pengabdian militer; terlebih lagi, senjata yang mereka bawa adalah perisai dan tombak bergaya Asia yang mana sang dewi telah ajarkan pertama kalinya kepada kami, seperti di dunia mu kalian lah yang pertama. Dewi Athena, dewi perang dan cinta memilih mu terlebih dahulu untuk tinggal di tanah yang subur itu dan membentuk masyarakat yang memujanya dan munculnya orang-orang bijak dari sana.”
Selanjutnya, si pendeta mulai mengisahkan tentang suatu kekuatan besar yang tak di duga membuat suatu ekspedisi melawan seluruh Eropa dan Asia, yang mana Athena di tempatkan sebagai tujuan paling akhir.
“Kekuatan ini datang dari samudra Atlantik, karena waktu itu Atlantik masih bisa di arungi; dan di sana ada pulau yang terletak di hadapan selat yang kamu sebut tiang-tiang Herkules; pulau itu lebih besar dari Libya dan Asia jika di satukan, dan merupakan jalan ke pulau-pulau lain, dan dari sini kamu mungkin bisa menerobos ke seluruh benua yang berlawanan yang di kelilingi oleh samudra-nyata; bagi laut yang di dalam Selat Herkules adalah hanya sebuah bandar, mempunyai pintu masuk yang sempit, tapi yang di sana itu adalah benar-benar laut, dan di sekeliling negeri itu bisa di bilang benua tanpa batas. Sekarang, di pulau Atlantis ada emparium besar yang menguasai seluruh pulau, dan beberapa pulau lainnya, dan sebagian dari benua, dan, selanjutnya, bangsa Atlantis telah menaklukan sebagian Libya di dalam tiang-tiang Herkules sejauh Mesir, dan Eropa sejauh Tyrrhenia (Tuskania). Kekuatan besar ini, di kumpulkan menjadi satu, mencoba menaklukan negeri kami dan kamu dan seluruh wilayah yang tersisa di dalam selat; kemudian, Solon, negeri mu maju dengan gagahnya, dengan segala kekuatan dari sang dewi, dialah lambang keberanian sang pemimipin Hellenes. Dia mematahkan segala serangan dan memenangkan setiap perkelahian. Namun selanjutnya terjadilah gempa yang dasyat dan bencana air bah melanda; dan dalam waktu satu hari satu malam semua tentara mu ditelan bumi, dan pulau Atlantis dengan caranya menghilang di kedalaman laut. Sebab itulah laut di bagian itu susah untuk di arungi, karena ada lumpur yang menghalangi; dan ini di sebabkan oleh sisa-sisa pulau tersebut.”
Dalog Timaeus di akhiri dengan pembicaran mengenai beberapa teori Phytagoras dan peredaran planet (planētēs “para pengembara”) di luar Bumi seperti; Bulan, Matahari, Venus, Merkurius, Mars, Jupiter, Saturnus, dan Bintang Tetap (Fixed Stars) yang juga tedapat di dalam karya Plato yang lain, Republik.

(Julius Bayu Manihuruk)