Dagang Budak

Bookmark and Share


Pada abad ke-16 dan 17, berdasarkan laporan-laporan yang dibuat oleh orang-orang Eropa, ada indikasi bahwa perdangan budak di Nusantara telah berlangsung sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa. Duarte Barbosa dari Portugis misalnya, pada tahun 1516 menyebutkan kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang menuju ke Pulau Timor tidak hanya berlayar untuk membeli kayu cendana, kuda, madu dan lada, tapi juga budak. Lintsgensz dari Belanda, pada 1597 menyebutkan bahwa perempuan Bali dapat dibeli untuk dijadikan budak.

Budak dalam pengertian di Nusantara memiliki pengertian sebagai seseorang yang dapat diperjual-belikan dan menjadi properti bagi orang lain.

Setelah Batavia didirikan sebagai bandar dagang, perdagangan budak semakin berkembang. Sebagai kota dagang yang besar di Asia, Batavia tak hanya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, tekstil, atau keramik namun juga menjadi pusat perdagangan budak.

Sebelumnya, para budak yang didagangkan di Batavia adalah budak yang berasal dari wilayah Asia Selatan seperti Bengal, Malabar dan lainnya. Namun setelah VOC, kongsi dagang yang menjajah Nusantara, berhasil menguasai Makassar pada 1667, kedudukan Asia Selatan sebagai sumber pemasok budak digantikan ole wilayah Indonesia Timur. VOC banyak mendatangkan budak dari Makassar. Budak yang dijual dari Makassar bukan hanya berasal dari daerah Sulawesi, namun juga budak yang berasal dari Kalimantan, Buton, Sumba, Sumbawa, Solor, Mandar, dan pulau-pulau di Nusa Tenggara lainnya. Perdangan budak dari berbagai daerah ini berkumpul di Makassar karena memang Makassar merupakan pelabuhan transit. Selain Makassar, daerah lain yang menjadi pemasok budak yang akan dijual di Batavia adalah Bali.

(Disarikan dari Bondan Kanumoyoso, “Orang-orang yang Diperjualbelikan: Aspek Sosial-Ekonomi Perdagangan Budak di Daerah Sekitar Batavia, 1710-1740”)

Ryan Prasetia Budiman