G30S (Gestapu/Gerakan 30 September 1965), Siapa yang Punya?

Bookmark and Share


Hidup itu mendamaikan yang paradoks. Kegagalan dan keber-hasilan manusia adalah pergulatannya dengan paradoksal yang mengepungnya. Antara modern dan tradisi, antara timur dan barat, antara rasional dan irasional, antara bumi dan langit, antara sakral dan profan. Jangankan manusia yang tak mau berdamai di antara paradoksal itu, orang yang telah berusaha mendamaikan saja seringkali gagal ditikam sejarah. Lihatlah, Majapahit sebuah kerajaan besar yang diakui dalam sejarah nusantara yang berada di tanah kelahiranku, mendamaikan antara agama Hindhu dan Budha. Istilah Bhineka tunggal ika adalah menggambarkan agama-agama yang beragam di Majapahit. Termasuk Islam juga mendapatkan tempat penting di Majapahit. Syekh Jumadil Kubro yang merupa-kan dedengkot walisongo berada dalam inti kerajaan Majapahit. Begitu juga dengan Sunan Ampel pendiri pesantren pertama di nusantara mendapatkan tanah ampel denta dari Majapahit. Dan Majapahitpun runtuh saat paradoksal itu tak terdamaikan, struktur-nya tak kuat menanggung letupan-letupan sebuah perubahan. “Aku mampu melawan anakku sendiri, Patah, tetapi aku tak mampu melawan perubahan,” kata Prabu Brawijaya V.
Bung Karno seorang yang mau mendamaikan semua aliran sungai ideologi yang mengalir deras dalam NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis). Menurutnya tiga aliran ideologi inilah yang mempunyai peran besar dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Paradoksal yang paling rumit dikompromikan adalah mendamai-kan kaum agama dengan komunisme ateis. Dan itu pula sumber kegagalan Bung Karno yang paling utama. Meletuslah Gestapu yang bermacam-macam versi. Sekarang ini telah berkembang bermacam versi itu di kalangan terpelajar secara sembunyi-sembunyi, karena di wilayah terang PKI dianggap sebagai dalangnya. Hembusan dalam diskusi-diskusi kecil para aktivis anti pemerintah menuding Pak Harto adalah dalang yang ‘nabok nyeleh tangan’ (memukul dengan pinjam tangan). Ada juga yang mengatakan justru Bung Karno sendirilah yang menjadi dalangnya karena geram kepada jenderal-jenderal bandel yang dianggapnya menjadi agen CIA.
Pak Harto hadir dengan Orde Baru yang meniadakan paradoksal menjadi karakter hidup, bahkan dengan senjata. Aliran sungai ideologi yang tak dapat dikendalikan Bung Karno difatwa rezim barang haram. Aliran sungai kanan atau pun aliran sungai kiri adalah musuh utama negara. Orde Baru adalah era pembangunan, era bagi generasi yang bekerja dan berkarya bukan era bagi nostalgia aliran ideologi. Karena inilah Masyumi tak direstu berdiri, dan menjeritlah Pak Natsir, “Kita ini seperti kucing kuduk,” keluhnya. NU yang masih bermimpi menjadi kekuatan politik dibonsai habis-habisan dengan segala cara. Dan PKI menjadi partai terlarang, bagian dari unsur paradoks yang harus dilikuidasi dari bangsa ini. Lebih jauh, pembersihan ke akar-akarnya. Hingga berpikir pun yang terkait dengan PKI adalah subversif. Aku baru mengerti kenapa Pak Nafis memberi kresek itu sembunyi-sembunyi, karena Pram dan karyanya adalah barang haram bagi Orde Baru.
Muhammadiyah kelompok yang paling cepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru, sebuah usaha menyerap karakter hidup yang bernama paradoksal itu, agar tak tenggelam dalam kehancuran. Muhammadiyah dimaknai sebagai jalan dakwah dan sosial, menjauh dari politik. Dengan sikap dini seperti itu, dan didukung dengan kaum terpelajar terseraplah kaum Muhammadiyah ke dalam struktur negara yang lebih cepat ketimbang NU.
Jogjakarta pun tumbuh dalam paradoksal, antara republik yang rasional dan monarki yang berbalut mitologi, antara kemodern dan tradisi, antara aristokrat dan rakyat jelata. Hari ini Jogja terasa nyaman dan menjadi kota impian bagi banyak pihak. Turis asing yang merindukan budaya Jawa di abad pertengahan, para pelajar yang menginginkan kemodern yang tersimpan di kampus-kampus besar dan di balik lembaran-lembara buku di perpustakaan. Tentu aku ke sini adalah kategori para pemburu pemikiran modern yang tersimpan di kampus dan lembaran-lembaran buku itu. Paradoksal Jogja yang sementara dapat dijinakkan. Tapi entah sampai kapan itu dapat dibingkai dan didamaikan? Apakah paradoksal itu suatu saat akan kembali muncul dan berkelai memperebutkan dominasi? Antara kemodernan dan tradisi, antara republik dan monarki.
Kesalahan Orde baru yang paling utama yang dianggap generasi hari ini adalah penggunaan senjata dalam mendamaikan setiap paradoksal. Bernegara haruslah tertib, aman, tenang, harmonis, tanpa kegaduhan sedikit pun. Bagaimana bisa berkarya jika negara dalam keadaan gaduh dan berisik. Logika yang benar bahwa negara harus tertib dan aman. Namun kesalahannya adalah penggunaan senjata untuk membungkam orang agar tak berisik. Berpuluh-puluh tahun rakyat hening dalam tekanan senjata. Dan kini impian menjadi rakyat Indonesia adalah menjadi rakyat bebas yang terlepas dari tekanan senjata. Setaraf dengan impian pejuang kemerdekaan yang bermimpi mempunyai pemerintahan sendiri yang bebas dari Belanda maupun Jepang. Dengan kebebasan rakyat ingin merumuskan sebuah negara yang tertib dan dapat mendamaikan di antara paradoksal yang ada. Itulah negara demokratis.
Paradoksal itu juga kurasakan di antara pergerakan mahasiswa di Jogja; ada yang memimpikan model revolusi Islam , ada yang nasionalis demokrat, ada yang Islam demokrat, ada sosial demokrat, namun belum ada yang mendeklarasikan diri sosial komunis. Belum lagi mahasiswa dari 3 daerah yang bermasalah; Timor Timur, Aceh dan Papua. Mereka mempunyai komunitas sendiri yang memelihara sentimen daerah karena ketertindasan rakyat di daerah masing-masing.
PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang dideklarasikan di sini menyerap ide-ide kiri dalam perjuangannya. Tetapi mereka belum pada tahap menjadi komunis yang memimpikan sebuah rezim diktator proletariat. Sekarang pemimpinnya Jatmiko sudah ditangkap pemerintah dengan tuduhan sebagai dalang kerusuhan 27 Juli di jalan Diponegoro kantor DPP PDI. Rezim memprovokasi massa Islam untuk membangun opini kalau dalang kerusuhan 27 Juli adalah ulah gerakan komunis yang mewujud dalam PRD. Sampai mas Amin pun terpancing komentarnya dengan mengata-kan adanya kelompok yang menggunakan cara-cara komunis dalam peristiwa itu. Sebagian besar kelompok pergerakan menolak klaim rezim kalau PRD adalah penyebab kerusuhan 27 Juli. Apalagi dikaitkan dengan kebangkitan komunis gaya baru.
Kambing hitam komunis memang dianggap efektif untuk membangkitkan sentimen kelompok agama, terutama Islam, yang menolak komunisme. Jatmiko yang sebelumnya tidak dikenal kini menjadi anak muda yang diperbincangkan banyak orang. Kalangan Islam terbelah dengan label komunis pada PRD; sebagian menolak tegas dan menganggapnya kambing hitam saja, seperti mas Adi Sasono, aktivis Islam yang anti Orde Baru namun mendirikan CIDES, kelompok pemikir di bawah naungan ICMI. Pak Gono dengan KISDI (Komunitas untuk Solidaritas Dunia Islam ) mendemo Republika, koran ICMI, karena dianggap bersimpati kepada PRD dalam pemberitaan kerusuhan 27 Juli. ICMI yang dituding Gus Dur sektarian dan dianggap batu loncatan birokrat dan tentara untuk jabatan politik, mengalami paradoksal dalam dirinya. Pak Habibie berdiri di posisi tengah antara pejabat tentara dan birokrat dan di sisi lain kaum aktivis Islam yang kritis, seperti mas Amien Rais, mas Adi, Kang Imaduddin, mas Dawam dan Cak Nur sendiri. Posisi Pak Habibie yang memberi ruang kepada aktivis Islam kritis ini telah membuatnya sulit di kalangan Pak Harto, terutama Mbak Tutut dan kroninya. Emha Ainun Najib yang sering dipanggil Cak Nun, orang Jombang yang besar di UGM, juga mengundurkan diri dari kepengurusan ICMI karena tekanan terkait aktivitasnya mengadvokasi waduk Kedungombo. ……..(cerita ini bagian 10 dari 13 bagian dari Novel Gadis Penghafal Ayat)
NB ; anda bisa teruskan membaca cerita ini dalam novel GADIS PENGHAFAL AYAT, yang telah alami cetakan 2, dan dapatkan di toko buku, Gramedia, Gunung Agung, dll….

M Shoim Haris