Kota Malang Pada Masa Awal Perang Kemerdekaan 1945-1947 (1): Aksi Kemanusiaan di Garis Belakang

Bookmark and Share


Kebanyakan penulisan sejarah Indonesia pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia lebih banyak menampilkan aspek militer (pertempuran) atau aspek politik (termasuk menyangkut diplomasi). Dari segi lokasi, kota-kota yang disorot adalah kota-kota yang banyak terjadi pertempuran dalam skala besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Medan lain sebagainya. Namun periode itu menyangkut banyak aspek, bukan hanya perang dan politik.

Bagian pertama tulisan ini pernah saya publikasikan di Majalah Gema Insani pada 1994. Namun saya tulis kembali sebagai dokumentasi sejarah lokal yang sedang saya kumpulkan dalam blog saya di Kompasiana

Dalam Perang Kemerdekaan menurut saya Kota Malang mempunyai perspektif berbeda. Pada masa awal Perang Kemerdekaan Malang berfungsi sebagai daerah pengunduran atau garis berlakang dari pertempuran-pertempuran yang terjadi antara pihak Republik dengan pihak sekutu. Tidak ada catatan pertempuran dalam skala besar di kota ini antara 1945 hingga terjadinya Agresi I yang dilakukan Belanda pada 21 Juli 1947. Kota ini praktis tidak mengalami kerusakan yang besar selama hampir dua tahun itu.

Dalam catatan yang saya punya pertempuran dalam skala besar, yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan yang sifatnya masif di kota Malang baru terjadi pada 31 Juli 1947. Sepuluh hari setelah terjadinya agresi. Pada periode Agustus 1945-Juli 1947 Malang adalah sebuah kota tempat terjadinya aksi-aksi kemanusiaan yang tak kalah heroiknya dari mereka yang pergi ke medan tempur bahkan melibatkan berbagai etnis.

Pemuda merupakan unsur masyarakat kota yang paling cepat tanggap terhadap Prokamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka mempelopori pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang dalam wkatu singkat dan tanpa pertumpahan darah. Pada akhir Agustus 1945 praktis seluruh gedung strategis berhasil direbut dan senjata yang dimiliki tentara Jepang dilucuti.

Pada akhir Agustus itu juga para pemuda membentuk BKR (Barisan Keamanan Rakyat) untuk wilayah Keresidenan Malang dengan komandannya Imam Sujai. Pembentukan BKR ini diikuti laskar lain seperti Hisbullah, Sabillilah, KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), serta TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Bukan hanya kesatuan-kesatuan tempur yang dibentuk tetapi juga badan-badan yang bekerja untuk tugas kemanusiaan.

Palang Merah Indonesia Cabang Malang dibentuk akhir September 1945 diketuai oleh dr.Achmad Saleh bukan satu-satunya badan yang ada untuk tugas kemanusiaan. Ssetiap kesatuan militer juga punya unit palang merahnya sendiri, seperti TRIP bagian Palang Merah, BPRI (Barisan Pemberontak RI bagian Palang Merah), TKR bagian kesehatan dipimpin dr. Mohammad Imam. Belum lagi organisasi non tempur seperti Pemuda Putri Indonesia yang dibentuk pada 10 Desember 1945.

Masyarakat Tionghoa kota Malang membentuk juga badan-badan kemanusiaan sebagai akibat membanjirnya pengungsi keturunan Tionghoa dari Surabaya. Pada 5 Desember 1945, Palang Merah Cina dibentuk dan diketuai oleh Oei Chiau Liang. Organisasi ini tidak saja berjasa membantu korban pengungsi keturunan Tionghoa, serta menampung anak-anak peranakan Tionghoa yang kehilangan orangtua mereka, tetapi juga orang Indonesia yang menjadi korban. Selain itu Masyarakat Tionghoa kota Malang juga mendirikan Palang Biru yang diketuai oleh Tan Liep Sing, serta Angkatan Muda Tionghoa Malang pimpinan Siauw Giok Bie. Semuanya untuk aksi kemanusiaan.

Ketika pecah pertempuran Surabaya pada November 1945 dari kota Malang tidak saja mengalir para sukarelawan, tetapi juga para pekerja kemanusiaan. Di antara mereka terdapat puluhan gadis-gadis usia 17 tahunan yang hanya mendapatkan pendidikan PPPK seadanya. Sekalipun di anatra mereka ada yang beruntung pernah mendapat latihan EHBO pada masa Hindia Belanda pada tahun-tahun terakhir sebelum masuknya Jepang (semacam program PPPK). Ada pula di antara mereka yang pernah dididik oleh Jepang. Keseluruhan relawan kemanusiaan ini dididik secara kilat oleh dr.Sumarno.

Akibat pertempuran Surabaya, Malang tempat penampungan korban pertempuran, sekaligus pengungsi yang terus bertambah. Pada 14 November 1945 satuan PMI dipimpin oleh dr. Suwandhi berhasil membawa obat-obatan, alat-alat bedah, serta korban luka sekitar 1000 orang ke Malang. Jumlah ini terus meningkat dari hari ke hari. Rumah sakit yang terbaik di Kota Malang adalah Rumah Sakit Militer Celaket tak mampu menampung korban luka sebanyak itu. Dr. Sumarno berhasil menyulap rumah sakit yang tadinya hanya berkapasitas 60 tempat tidur menjadi mampu menampung 1500 pasien.

Dari hari ke hari korban yang membutuhkan pertolongan mengalir deras. Perlu tambahan rumah sakit. Jalan yang diambil ialah membuka sebuah rumah sakit darurat. Sebuah sekolah rakyat di Jalan Sarangan dibongkar. Bangku-bangku dikeluarkan dari kelas. Sebagai gantinya dibuat dipan-dipan darurat yang terbuat dari papan-papan. Umumnya yang dirawat di tempat ini ialah korban luka yang tidak terlalu parah atau sesudah dioperasi.

Obat-obatan disediakan oleh orang-orang Tionghoa yang membuka tiga rumah obat, yaitu Apotik Yang Seng, Pao Yang dan Apotik Rakyat. Pesawat terbang yang dikemudikan dr. Abdulrachman Saleh bolak-balik dari Malang ke Madiun membawa obat-obatan. Rakyat ikut bergotong royong membuat perban darurat dari sprei bekas yang digunting-gunting. Mereka juga memberikan bantuan makanan ke rumah sakit tempat perawatan korban luka, sehingga para pasien tidak kekuarangan makanan untuk memulihkan kondisi tubuh.

Mengurus Para Inteniran dan Sekolah Kedokteran

Pada masa pendudukan Jepang, orang Eropa yang ada di Hindia Belanda dijadikan tawanan, termasuk juga perempuan dan anak-anak. Di Kota Malang mereka ditahan di Sekolah MULO Jalan dr. Cipto, Sarangan, serta tangsi di Rampal. Selama tiga tahun para perempuan dan anak-anak tidak saja menderita kekuarangan makanan, tetapi juga penyiksaan. Para gadis Eropa malah dijadikan wanita penghibur para opsir Jepang.

Bagi pihak Indonesia memperlakukan inteniran dengan baik akan membawa prestise tersendiri di dunia internasional. Pihak Indonesia juga membantu pemulangan tentara Jepang. Untuk itu dibentuk POPDA (Paniotya Oeroesan Pemulangan Djepang) dan APWI (untuk urusan interniran). Para peninjau dari intercross yang datang ke kota Malang melaporkan bahwa di Malang para inteniran mendapat perlakukan yang baik.

Dalam The Voice of Free Indonesia pada Februari 1946 disebutkan setiap orang inteniran di Malang mendapatkan makanan 100 gram beras, jagung 200 gram, sayur-sayuran 150-200 gram per hari. Mereka juga diberikan daging segar dan ikan sebanyak 50 gram 2 x setiap minggu, tempe 20 gram dan tahu 30 gram per hari. Para interniran juga bisa menikmati kopi dan teh. Sementara penduduk Kota Malang sendiri belum tentu semua menikmati.

Pada 16 Februari 1946 seluruh inteniran dari Jawa Timur (termasuk dari Malang) telah tiba di Jakarta melalui kereta api. Jumlah seluruhnya 16.709 perempuan dan anak, serta 4260 laki-laki.

Prestasi yang juga patut dicatat Kota Malang pernah memiliki sebuah Sekolah Kedokteran . Salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan ialah kurangnya tenaga medis. Menurut Merdeka, edisi Enam Bulan Kemerdekaan pada Februari 1946 Jumlah tenaga medis di Indonesia hanya 891 orang dokter untuk melayani 70 juta penduduk Indonesia dan hanya sekitar 1137 jururawat terlatih. Untuk mengatasi masalah ini dibuka sekolah kedokteran di beberapa kota seperti Surakarta, Yogyakarta dan Malang.

Di kota Malang sekolah kedokteran ini begitu darurat seperti yang pernah diceritakan bekas murid sekolah itu Herman Susilo.

Dalam batas-batas kemampuan yang ada pada waktu itu penyelengaraan pengajaran dilaksanakan oleh guru-guru seadanya. Mereka ialah dokter-dokter senior yang tidak pernah mempunyai pengalaman mengajar. Di antara pengajar adalah seorang berkebangsaan Jerman bekas tawanan Belanda yang memihak Republik. Dia memberikan pelajaran kimia karena memang sarjana kimia. Bahkan ada dokter hewan yang memberikan pelajaran biologi.

Sayangnya umur sekolah ini hanya setahun. Belanda merebut kota Malang pada 31 Juli 1947 hingga pendidikan para calon dokter ini tidak bisa dilanjutkan.

Irvan Sjafari

Sumber:

Surat Kabar atau Majalah Sezaman

Malang Post November 1945 –Desember 1946. Majalah dua mingguan

Liberty April 1946- Juli 1947 terbit di Malang, majalah dua mingguan

The Voice of Free Indonesia November 1945- Februari 1946

Tok-tok Desember 1946, Malang majalah dua mingguan.

Skripsi yang tidak dipublikasikan

Gayatri, Sri Indra, Keresidenan Malang Masa Awal Kemerdekaan Skripsi Sarjana, FSUI 1981

Sjafari, Irvan, Peranan PMI di Keresidenan Malang pada Masa Revolusi 1945-1949, Skripsi sarjana untuk FSUI, 1992

Buku-buku

Asmadi, Sangkur dan Pena, Jakarta: Indra, 1980

Sosroatmodjo, Dr. Soemarno, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya, Jakarta: Gunung Agung, 1982

Wawancara:

Ny. Sumarno jururawat di RS Darurat Malang, wawancara di Jakarta pada 1 Agustus 1992

Dr. Herman Susilo, bekas mahasiswa kedokteran di Malang, wawancara di Jakarta pada 16 Juli 1992

Irvan Sjafari