Menguak Gayo

Bookmark and Share


SEPERTI sebuah rangkaian, tiga buku tentang Gayo terbit dalam waktu hampir bersamaan di Jakarta di penghujung 2011 dan awal 2012. Buku-buku tersebut ada yang mengungkap “misteri” Gayo dari zaman prasejarah, sampai kepada kisah hidup seniman Gayo abad modern.

Tiga judul buku itu adalah “Merangkai Identitas Gayo” ditulis Ketut Wiradnyana dan Taufikurrahman Setiawan (Yayasan Pusta Obor Indonesia), “Tutur Gayo” dan “AR Moese Perjalanan Sang Maestro Gayo,” yang ditulis Yusradi Usman al-Gayoni dan diterbitkan Pang Linge dan Research Center for Gayo, serta buku “Tari Saman” ditulis Drs Ridwan Salam, (Wahana Bina Prestasi Bekasi, Jawa Barat).

Meski ditulis oleh penulis berbeda, namun ketiga buku tersebut saling memiliki benang merah. “Merangkai Identitas Gayo” adalah buku yang menguak tabir Gayo pada zaman prasejarah, diangkat dari hasil penelitian arkeologis di ceruk Mendale, Aceh Tengah. “Ini merupakan satu-satunya buku yang mengungkapkan prasejarah Aceh, khususnya Aceh bagian pedalaman,” kata Prof Dr Bungaran A Simanjuntak dalam pengantarnya.

Data arkeologis dari hasil penelitian di Loyang Mendale itu sangat jelas memberikan kontribusi informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi dan antropologi. Melalui temuan arkeologis tersebut, buku “Merangkai Identitas Gayo” telah memberi sedikit jawaban tentang Gayo. Penelitian arkeologi yang tertuang dalam buku ini mendukung adanya migrasi masa neolitik melalui jalur barat. “Dengan itu juga memunculkan hipotesis akan akar budaya neolitik di Sumatera bagian Utara, dimungkinkan dimulai dari wilayah Tanah Gayo dan kemudian menyebar ke Tanah Batak,” tulis Prof Bungaran.

Penelitian arkeologi di Ceruk Mendale antara lain menemukan adanya kerangka dengan posisi terlipat, kapak lonjong dan kapak persegi, serta gerabah dengan teknik tatap yang diukir. Itu menggambarkan bahwa penghuni Loyang (gua) Mendale dan Loyang Ujung Karang sangat mungkin adalah kelompok yang menggunakan bahasa Austronesia.

Kajian arkeologis, antropologis, dan etnoarkeologis atas berbagai aspek budaya yang ditemukan dalam penelitian tersebut, memperlihatkan indikasi kuat bahwa aktivitas budaya prasejarah di Tanah Gayo, khususnya dari babakan neolitik memperlihatkan masa yang lebih tua dibanding di Tanah Batak. “Hal itu memunculkan hipotesis bahwa orang Batak berasal dari Tanoh Gayo. Bukan sebaliknya seperti yang telanjur diyakini selama ini,” kata Ketut Wiradnyana.

Ia menyarankan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap lebih terang tentang identitas Gayo yang memiliki ciri kebudayaan berbeda dengan umumnya masyarakat di wilayah Provinsi Aceh.

Tutur Gayo
Dari zaman prasejarah, buku lainnya memperlihatkan sisi Gayo modern yang sudah mulai melupakan identitasnya. Buku “Tutur Gayo” memperlihatkan sistem kekerabatan masyarakat Gayo yang direfleksikan dengan istilah-istilah tertentu yang sebagian “tergeser” oleh istilah kekerabatan baru.

Orang Gayo memiliki istilah sendiri untuk panggilan bapak, ibu, paman, bibi, kakek, nenek, cucu, dan sebagainya. Masing-masing istilah tersebut menyimpan nilai-nilai tertentu pula.

Tapi kata, Ysuradi al-Gayoni, penulis buku tersebut, saat ini sudah banyak perubahan dalam istilah kekerabatan Gayo. “Masyarakat mulai menyerap istilah-istilah baru dan meninggalkan istilah lama,” katanya.

Tari Saman
Sementara buku “Tari Saman” berisi informasi penting dan mendasar mengenai tari Saman. Penulisnya, Ridwan Salam, selain melakukan pendekatan empiris juga pendekatan kepustakaan untuk bagaian-bagian tertentu, terutama menyangkut hubungan tarekat Sammaniyah dengan Tari Saman.

Ridwan menyimpulkan bahwa sama sekali tidak ada kaitan antara tarekat tersebut dengan tari Saman yang hidup dan berkembang di Gayo Lues. “Syekh Muhammad Samman berdasarkan referensi yang ada tidak pernah ke Indonesia termasuk ke Aceh dan Gayo Lues. Ajaran tarekat Syekh Muhammad Samman di Indonesia dikembangkan murid-muridnya,” kata Ridwan Salam. Ia merujuk sejumlah keterangan dari berbagai buku rujukan. Syekh Muhammad Samman adalah ulama yang hidup di Madinah.

Gayo modern juga telah melahirkan seorang komponis besar daerah itu. Namanya AR Moese, menguasai musik klasik tapi melahirkan karya-karya asli dan gubahan tentang musik Gayo. Salah satunya “Tawar Sedenge,” yang kemudian jadi lagu wajib Aceh Tengah yang dinyanyikan pada upacara-upacara kenegaraan setelah lagu Indonesia Raya.

Moese pula yang banyak menggubah puisi didong jadi bentuk musik Gayo yang enak didengar. Karya-karya didong digubah Moese antara lain karya Sali Gobal, Lakiki, Daman, dan lain-lain.

Gayo prasejarah dengan Gayo modern adalah sebuah bentang kebudayaan yang panjang. Dan mudah-mudahan akan lahir banyak buku yang mencatat tentang peristiwa kebudayaan.Ini bagian dari menguak Gayo, suku yang mendiami punggung Bukit Barisan.

Fikar W.Eda
Editor : bakri