Pendudukan Tiga Setengah Tahun Jepang Lebih Kejam dari Belanda? (2)

Bookmark and Share


“Nama saya Mardiyem. Tentara Jepang menyebut nama saya dengan Momoye,” katanya membuka ceritanya. Di masa mudanya Mardiyem dibujuk untuk sekolah di Jepang. Sebagai seorang yang menyenangi kesenian, khususnya tarian, ia mengiyakan kerabat yang mengajaknya pergi ke Jepang untuk belajar tarian. Namun tak disangkanya ia akan mengalami sebuah mimpi buruk setelah itu. Alih-alih belajar seni di Jepang, dia malahan dikirim ke sebuah base camp tentara Jepang di Terawang Kalimantan. Asrama yang sebenarnya sebuah rumah bordil bagi tentara Jepang. Hari-hari berikutnya bak sebuah mimpi buruk bagi hidupnya. Ia dipaksa menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang. Ia dijanjikan uang setelah pelayanannya dengan semacam kupon setiap melayani seorang tentara Jepang. Ia harus melayani jika ia diminta meski ia tidak mau. Bahkan ia terpaksa melayani tentara Jepang, yang menurutnya bisa jadi stress, lebih dari satu kali. Kadang merek tidak mengerti jika ia sedang menstruasi. Jika menolak, beresiko untuk dihajar. Ia pun merasakan hajaran itu beberapa kali hingga beberapa tubuhnya, mata dan kepalanya di antaranya, cacat hingga akhir hayatnya.


13462500681973834060

Ibu Mardiyem di atas kapal Awani Dream



Satu episode yang mengenaskan Momoye yang harus merelakan jabang bayi tak berdosanya untuk diaborsi secara paksa. Bayi tak berdosa ini dipaksa keluar oleh seorang dokter pribumi, seorang dari suku Dayak. Perutnya dipukul-pukul hingga sang jabang bayi harus keluar. Ia masih melihat jabang bayinya bergerak-gerak. Antara kesakitan, marah dan sedih, ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah.


Hingga hari-hari Jepang menyerah kalah, ia masih membawa kupon yang tidak akan pernah ia bisa tukarkan dengan uang ketika keluar dari “asrama” bejat itu.



Suatu hari di tahun 1996. Di tengah gelombang lautan di atas kapal berbendera Panama, Awani Dream, sungguh saya terperangah. Cerita Momoye, seorang Jugun Ianfu berasal Indonesia, sungguh menghentak bagai menggulung ombak laut yang tengah kami lalui. Ia mungkin bukan pembicara yang mahir dan terlatih bak politikus. Tapi ceritanya mampu menggetarkan siapa saja yang mendengarnya. Kisahnya lebih memabukkan dari pada getaran gelombang laut saat itu.


Tuhan telah mengatur pertemuan saya dengan beliau di tahun 1996 hingga saya mendengar kisahnya yang begitu kelam dan pilu. Saat itu saya baru saja lulus sarjana. Kami berdua di dalam kabin di sebuah kapal pesiar menyeberangi lautan dari Denpasar ke Cairns, Australia. Pertemuan dan pengalaman ini merupakan satu hal yang tak akan pernah terlupakan. Akan terus berbekas di benak saya. Tidak pernah.


Ibu Mardiyem, wanita yang ringkih namun perkasa ini memberikan banyak pelajaran. Pada satu titik, dia menerima kehidupan apa adanya. Meski dia sebenarnya tidak rela dirinya dianggap rendah oleh lingkungannya. Ia harus rela dicap sebagai seorang “pelacur Jepang”, meski sebenarnya ia diming-imingi oleh seorang kerabatnya untuk sekolah seni di Jepang. “Catering saya akhirnya saya tutup karena tetangga-tetangga saya kemudian bergunjing, yang masak pelacur Jepang,” ceritanya dalam logat Jawanya yang kental. Ia seperti terjatuh dari tangga dan kemudian tertimpa tangganya. Siksaan pedih dari tentara Jepang telah usai. Tapi siksaan batin dari orang-orang sekitar juga pedih bagi batinnya.



Tapi bisiknya kepada saya, “Saya masih beruntung, Nak. Saya masih ada suami yang mau menikahi saya. Masih ada anak yang bisa saya angkat sebagai anak, karena rahim saya telah rusak digempur poros senapan tentara Jepang itu.” Kata-katanya tidak berapi-api karena ia sudah menerima jalan kehidupannya.



Banyak tulisan kekejaman pemerintah militer Jepang memberikan bekas luka perih bagi para korban mau pun pembacanya. Romusha atau jugun ianfu (comfort women/perempuan budak seks) adalah contoh dari korban-korban itu. Mereka mungkin mati, mereka diinjak-injak, mereka disiksa baik secara fisik mau pun batin.


Apapun juga perang yang dilandasi oleh dasar keserakahan dan ambisi yang berlebihan memang membawa kesengsaraan. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Rakyat Jepang juga tidak bersuka-cita dengan adanya perang. Setelah Jepang menyerah terhadap tentara sekutu, rakyat Jepang antre mendapatkan makan. Bahkan sebelum perang pun, kehidupan sehari-hari mereka belum makmur. Masih ingat Watanabe-san di tulisan saya pertama? “Ketika saya baru pulang dari Hindia Belanda di tahun 1941, saya menggunakan sepatu yang biasa digunakan di Hindia Belanda. Saya dikerubuti oleh teman-teman saya dari Jepang. Mereka baru pertama kali melihat sepasang sepatu dalam hidup mereka. Sehingga saya diejek oleh teman-teman yang bertelanjang kaki. ”




Kepercayaan bangsa Jepang, yang percaya dewa-dewi dan animisme, Mereka pun memaksa rela hidup menderita demi kejayaan negara dan umur panjang kaisarnya, meski terpaksa hidup menderita. Mereka harus merelakan anak-anak, suami, keluarga dan para golongan laki-laki muda mereka untuk dijadikan prajurit, yang berarti harus siap untuk mati di medan pertempuran. Demi sebuah doktrin. Ya, doktrin yang berakhir menyakitkan bagi bangsa Jepang sendiri.


Kerja keras bangsa Jepang untuk memenuhi ambisi dan keserakahan ini menjadi bumerang bagi Jepang. Sebuah bom atom pun akhirnya harus meletus di kota Hiroshima. Ribuan ribu nyawa melayang. Penyakit mewabah, rakyat tak berdosa meretas nyawa. Apakah balasan jugun ianfu dan romusa telah terbalaskan oleh si Little Boy (bom atom yang dijatuhkan ke kota Hiroshima)?



Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/hiro3.gif



Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/nag2.jpg

Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/nag2.jpg



134625076857795824Peringatan Bom Hiroshima 2012 yang dihadiri oleh PM Noda

Metavida
Tokyo, 29 Agustus 2012