Ulama Muda Penentang Jepang dari Gampong Beunot

Bookmark and Share



Ia enggan kompromi dengan Jepang. Bersama seratus santrinya, Teungku Cot Plieng menyusun benteng dari tali dan membunuh Jepang dengan kibasan kain ridak.

Pamflet itu hanya bersandar pada dinding bangunan makam. Isinya tertulis: Makam Tgk Sjeh Abdul Djalil Cot Plieng Bayu, Lhokseumawe, Aceh Utara. Makam berada di sebelah Masjid Syuhada, di Lorong Pahlawan, sekitar 50 meter sebelah kanan Jalan Raya Banda Aceh-Medan, Gampông Beunot, Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

Di belakang dan samping makam tampak bangunan Dayah Al Huda dan Yayasan Panti Jompo Al Huda Syuhada Cot Plieng. Di sebelah dayah ada rumah T. Iskandar A.B., cucu Teungku Cot Plieng. “Di areal ini dulunya rumah Teungku Cot Plieng,” kata T. Iskandar A.B. kepada The Atjeh Times Jumat 3 Agustus 2012.

Berdasarkan cerita T. Iskandar, Teungku Cot Plieng atau Teungku Sjeh Abdul Djalil Cot Plieng lahir di Gampong Guha Uleu, Kuta Makmur, Aceh Utara, 14 Maret 1917.

Teungku Cot Plieng memiliki dua istri. Pertama, Ummi Habibah asal Peunteut, Meulaboh, yang meninggal usia 68 tahun pada 1988. Hasil pernikahan dengan Ummi Habibah, Teungku Cot Plieng dikaruniai anak bernama Cut Aminah. T. Iskandar A.B. anak dari Cut Aminah.

Istri keduanya bernama Cut Zainabon dari Blang Buloh, Aceh Utara. Zainabon meninggal pada 2009 dalam usia 115 tahun. Bersama Cut Zainabon, Teungku Cot Plieng tidak dikaruniai anak.


Suatu hari tahun 1942, serdadu Jepang yang menguasai sebagian Lhokseumawe memanggil Teungku Cot Plieng. Kala itu Teungku Cot Plieng sudah memimpin Dayah Al Huda sejak umur 21 tahun. Ia juga Imum Chik Masjid Syuhada Cot Plieng.



Teungku Cot Plieng dipanggil untuk menyerahkan diri dan tunduk di bawah kuasa Jepang. Ulama muda ini mangkir. Jepang pun merencanakan penjemputan paksa. Kabar tersebut terdengar ke dayah. Teungku Cot Plieng mengumpulkan para santrinya untuk berikrar melawan penjajah.


Siasat disusun, sebuah benteng pertahanan dibuat. Bukan tembok tinggi, bukan pula gundukan tanah atau benda antipeluru. Benteng pertahanan buatan Teungku Cot Plieng berupa bentangan tali di empat sisi. Tali ditarik hingga mengurung sebagian pekarangan dayah.


Walau hanya tali, benteng itu tak bisa ditembus. Jika melintas, serdadu Jepang akan mati. Walhasil Jepang hanya bisa menyerang dari luar benteng, sedangkan Teungku Cot Plieng berzikir dalam Masjid Syuhada.


Tak mau kalah, Jepang membombardir dayah dengan bom asap beracun. Namun, tak satu pun penghuni dayah meninggal. Sebaliknya, tatkala Teungku Cot Plieng mengipaskan kain ridaknya, pasukan Jepanglah yang mampus terkapar berhamburan.

Tujuh hari berselang, Teungku Cot Plieng menuju Gampông Teumpeun. Ia berceramah di Masjid Cot Neuheun. Setelah empat hari, keberadaannya tercium Jepang.


Namun, ketika Jepang tiba di Tempeun, Teungku Cot Plieng sudah pergi tiga jam sebelumnya. Rupanya ia berangkat mengunjungi istri keduanya Cut Zainabon di Gampông Blang Bulôh, Simpang Keramat.


Mengetahui Teungku Cot Plieng tidak ada di Beunot, Jepang menyerang kembali Dayah Al Huda. Seratus santri syahid dalam mempertahankan serangan itu.

Jepang juga memburu Teungku Cot Plieng ke Blang Bulôh dan mengepungnya seusai salat asar di meunasah. Walau sendirian, Teungku Cot Plieng tetap melawan. Ia pun syahid dalam usia 25 tahun. Jenazahnya dibawa ke Beunot oleh Jepang.

Bersama santrinya, ia dimakamkan warga Beunot di kompleks Dayah Al Huda. Namun, satu dari 100 santrinya itu hilang tidak diketahui hingga sekarang.Pada 1942 bangunan Masjid Syuhada masih berkonstruksi kayu. Kini, bekas pertapakan bangunan dasar masjid tua itu tidak terlihat lagi setelah dipugar pada 1988.


Pintu gerbang serta pagar masjid sekarang dulunya deretan bilik santri. Sisi kiri bilik, tiga meter dari hadapan, terdapat rumah kayu yang dihuni Teungku Cot Plieng. Pada bagian tengah antara bilik santri dan rumah, di situlah bangunan dasar Masjid Syuhada.




Sebagai bukti dan saksi sejarah, bangunan itu hanya tersisa sebuah sumur tua di sisi kanan. Sumur tua itu airnya keruh.


Masjid Syuhada pernah dipugar dengan dana bantuan masyarakat Aceh dan masyarakat Jepang Solidaritas Muslim. Kini masjid bersejarah itu kurang terawat, sebagian kaca sudah pecah. Begitu juga pagar masjid yang hanya tertutup sebagian. “Tidak ada bantuan pemugaran atau perbaikan untuk masjid bersejarah ini dari pemerintah,” kata T. Iskandar.


Peneliti sejarah dan kebudayan Islam, Taqiyuddin Muhammad, menyebutkan kisah tentang Teungku Cot Plieng lebih dikenal oleh masyarakat Jepang. “Catatan sejarah beliau banyak tersimpan di Jepang,” katanya. Jepang juga pernah memugar Dayah Al Huda pada 1996.


Bekas pertapakan sejarah perlawanan Teungku Cot Plieng, kata Taqiyuddin, berada di Blang Bulôh, dekat meunasah tempat Teungku Cot Plieng meninggal. Di situ, kata dia, terdapat tulisan Arab kuno dan bekas peluru tembakan Jepang pada bangunan meunasah.

Bukti lain perjuangan Teungku Cot Plieng berupa tugu bambu runcing di sisi Jalan Medan-Banda Aceh. Di lokasi tugu ini dulu dibangun benteng tali oleh Teungku Cot Plieng. Kini cat tugu tersebut pudar.


Kondisi tak terawat, kata Taqiyuddin Muhammad, juga menimpa rumah di Blang Buloh, tempat Teungku Cot Plieng wafat. Bangunan tersebut kini bak rumah hantu.

[ALFIANSYAH OXCIE | ZULFIANDA | IRMAN I.P